Tancap Gas

Luar biasa aktivitas hari ini. Seharian di laboratorium benar-benar tak terasa. Biasalah pegawai yang sok kerajinan ini, kalau sudah di laboratorium sampai kelupaan waktu. Betah banget, saking cintanya.

“Sal, ayo pulang. Sudah jam 16. 15 WIB nih. Nanti kita dicari-cari sama si abang.”

“Waduh, telah pulang. Bisa dimarahi sama si abang kalau begini.”

“Tahu tuh telat, si abang angkotnya udah lewat dua kali!”

“Gampanglah, nunggu abang angkot yang keempat.”

“Hahaha …”

Biasalah, beginilah nasib angkoters. Kalau ditinggal sama yang pertama, kan masih ada yang kedua, ketiga, keempat, kelima, sampai tak terhingga. Pahit-pahitnya jika mereka mogok akibat demo, ya sudahlah cari alternatif lain, mobil sewaan yang ongkosnya berlipat lipat dari dia. Kepasrahan tingkat tinggi.

***

Iiik …!

Bumper-nya tersenyum manis melihat dua orang wanita manis masuk ke dalam dan duduk manis.  Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya terdiam, kayak orang marahan,  kelelahan yang langsung membuat mata kami terpejam seraya membaca doa mau tidur dan terbangun saat sudah sampai di Kampung Utan.

Iiik …!

Rem yang tak pakem menghentikan laju angkot di Kampung Utan.

Kami berdua turun dan menunggu angkot selanjutnya.

“Mbak, mau naik yang itu enggak?”

“Bolehlah.”

Tanganku melambai dengan sergapnya saat elf semakin dekat, dan berhenti di depan kami.

“Stasiun Bekasi, ya, Pak?”

“Ya, Mbak!”

Jawaban Pak Sopir sangat tegas, dilihat dari intonasi suaranya sepertinya ia  menyukai hal-hal yang berbau kecepatan, tidak suka keterlambatan. Kalau begitu, tepatlah kami memilihnya, mudah-mudahn ini sopir tidak suka ngetem deh. Semoga prediksiku tepat.

Benarlah. Sepanjang perjalanan dari Kampung Utan sampai Pasar Tambun, ia selalu menancap gasnya. Hanya kemacetan dan calon penumpang yang akan naik, yang dapat menghentikannya.

Besss …. Besss … Besss!

Aku dan temanku saling melirik, tersenyum bahagia menemukan angkot sekeren ini.

“Mantap, ya, Mbak,  ini angkot, bablas terus.”

“Cepat nih kita sampai Stasiun Bekasi, Sal.”

“Ho-oh.”

Saat sampai di Pasar Tambun, lajunya menjadi sedikit pelan, karena kemacetan menghadang sampai menuju Gedung Juang.

“Semoga setelah Gedung Juang, lancar ya, Mbak. Kasihan si abang sopirnya, bakat tancap gasnya tak tersalurkan akibat macet.”

“Hahaha, bisa aja!”

“Mbak!, berdoa mulai.”

Benar saja, setelah Gedung Juang. Jalanan lancar jaya, doa kami rupanya sampai ke langit, makbul, diijabah oleh-Nya.

Besss …. Besss … Besss!

Gas seperti diinjak semakin dalam oleh kakinya. Rem seperti tak berfungsi, bablas tanpa ada halangan sedikitpun. Sampai akhirnya, kami tiba di Bulak Kapal.

Lampu merah menyambut manis sang juara. Ia menghadang pembalap beberapa detik, lalu mempersilakannya melaju mencap gas sekuatnya.

Besss …. Besss … Besss!

Dalam beberapa menit, kami sudah sampai di Terminal Bekasi. Sama seperti sebelumnya, lampu merah menghadang sang juara hingga akhirnya ia terhenti tak berkutik.

“Mbak, lampu merah senang banget, ya, ketemu sama kita.”

“Iya, ya. Kangen kali Sal, sama kamu?”

‘Mungkin, kangen berat!”

Kulihat raut wajah Pak Sopir. Terlihat masih optimis akan memenangkan perlombaan ini. Mukanya tanpa ekspresi, datar.

“Mbak, Pak Sopir semangat juangnya tinggi.”

“Iya nih, patut diacungi empat jempol.”

“Ho-oh.”

Gas terus saja diinjaknya, dalam dan semakin dalam menuju Universitas Empat Lima (Unisma). Sampai akhirnya, ia harus menginjak rem kembali di perempatan lampu merah Unisma.

“Selamat, Mbak. Anda memenangkan piring satu lusin, karena sudah berkali-kali ketemu lampu merah.”

“Boleh tukar dengan gelas enggak, Sal?”

“Boleh, asalkan dapat persetujuan dari Pak Sopir aja, Mbak.”

Aku mencandai teman seperjuangan. Maklumlah kalau lagi di lampu merah gini, kan biasanya akan membuat tensi darah naik. Agar darah tetap stabil, jadilah kita bergurau. Tapi asalkan jangan mencandai Pak Sopir, ya, bisa dilempar ke luar elf, kalau Bapaknya sensi.

Lampu telah berubah menjadi hijau. Gas kembali ditancap dengan mantapnya.

Besss …. Besss … Besss!

Elf tersebut mengambil jalur sebelah kiri, terus melaju di bawah jempatan tol an akhirnya belok kanan menyusuri sungai irigasi. Belum selesai menyusurinya, kali ini elf benar-benar terhenti karena kemacetan panjang menyambutnya dengan tertawa.

“Akhirnya, kena macet beneran, Mbak.”

“Nasib-nasib, enggak jadi pulang cepat nih, Sal?”

“Semoga masih ada harapan. Berdoa mulai, Mbak.”

“Ok, siap.”

Entah apa yang terjadi di depan sana. Kemacetan sepertinya tak bisa teruaikan lagi. Bahu jalan sudah penuh dengan antrian kendaraan. Hanya tersisa trotoar yang masih sepi dari pejalan kaki.

Brem ... Breem ...

Suara motor jalan berlari di atas trotoar terdengar. Baru saja dibilang trotoar sepi, sekarang justru ramai dengan motor yang melaju di atasnya.

Kocak juga melihat pemandangan tersebut. Apapun dilakukan untuk segera sampai di tempat tujuan. Begitu pula yang dilakukan mobil elf yang aku tumpangi. Ia menginjak gas, menaiki trotoar dan melaju di atasnya.

"Wow, kreatif banget nih Pak Sopir. Ya kan, Mbak?"

"Iya donk, keren abis."

"Ini nih yang namanya angkot, kalau macet ambil kanan atau kiri, kalau macet terus ngantri ikut antrian, itu namanya mobil pribadi. Betul kan Mbak?"

"Hahaha... sangat betul."

Kami berdua tertawa kegirangan. Walau sedikit was-was karena tak sesuai aturan, ya, habis bagaimana lagi. Kalau aku protes, nanti Pak Sopir akan menyuruhku menggantikannya sebagai driver, lalu bukannya sampai Stasiun Bekasi, tapi sampainya ke Kali Irigasi yang tepat ada di sepanjang jalan.

Angkot tersebut melaju dengan gagahnya, kulihat wajah Pak Sopir penuh dengan kepercayaan diri, mungkin tingkaannya sudah selevel dewa. Benar-benar beruntung, berkat kegigihan Pak Sopir. Aku tepat waktu sampai di rumah.

Sebagai apresiasi, kuserahkan ongkos berikut dengan bonusnya, biar Pak Sopir tambah semangat!

Photo by Recav from Pexels




Comments