Sopir Ngeyel

Masya Allah. Rasanya ingin melarikan diri dari hari ini. Kakiku yang keseleo beberapa hari lalu, masih nyeri. Diajak jalan sebentar sudah berasa kayak mau diajak perang. Jalanku pun masih pincang. Tapi mau bagaimana lagi, demi tugas negara, jadilah hari ini, aku berangkat ke kantor.

“Bun, sewa mobil online aja, kan kakinya masih sakit.” Saran pria berjenggot yang sedang memanaskan kendaraan beroda duanya.

“Iya, Biy. Sudah pesan dari tadi, hanya belum tersambung. Mungkin masih pagi, ya. Jadi belum ada yang nerima sewaan,” sahutku sambil merapikan jilbab.

“Ya, udah. Sekarang Abiy antar sampai ke gang Damai. Nanti pesan di sana aja. Mungkin akan langsung terkoneksi,” balasnya pelan.

Benar saja. Saat aku sudah sampai di gang Damai, tepat di pinggir jalan raya. Pesananku langsung diterima oleh salah satu mobil online.

“Maaf, bisa jemput, Pak?”

“Bisa, Bu.”

“Saya di depan Gang Damai, Pak. Pinggir jalan.”

“Baik, Bu.”

“Posisi Bapak di mana?”

“Saya di Pom Bensin Pertamina, sedang isi bahan bakar.”

“Baik, Pak. Saya tunggu.”

Lima menit kemudian. Mobil sewaan berwarna merah terparkir di depan kami. Kaca jendelanya terbuka, dan langsung memberi salam.

“Pagi, Bu. Dengan Bu Salbiah?”

“Iya, Pak.”

Suamiku langsung memapahku sampai masuk ke dalam mobil. Kucium tangannya dan berpamitan ala-ala perpisahan film India, agak meneteskan air mata. Sedih banget, tapi bukan karena berpisah seharian dengan belahan jiwa. Sedih karena yeri di kakiku kambuh lagi.

“Hati-hati, ya, Bun. Nanti kalau sudah sampai kantor hubungi Abiy, ya.”

“Ya, Biy.”

Kututup pintu mobil. Pak sopir mulai memainkan gas dan rem dengan kakinya, mobil melaju perlahan sampai akhirnya agak melambat saat sudah mendekati pertigaan Summarecon Bekasi.

“Bu, sekarang kita lewat mana? Terminal Bekasi atau Bekasi Barat?”

“Terminal Bekasi aja, Pak.”

“Wah, macet, Bu di situ, apalagi di perempatan lampu merah depan rumah sakit Bella.”

“Biasanya sih enggak macet, Pak, palingan berhenti karena lampu merah aja.”

“Macet, Bu di situ. Lewat Bekasi Barat aja, ya, Bu?”

Pak Sopir langsung membelokkan mobilnya ke kanan, masuk ke arah Summarecon Bekasi, yang berarti kami akan melewati Bekasi Barat, bukan Terminal Bekasi. Kubiarkan saja, apa maunya.

Ngapain coba tadi pakai nanya mau lewat Terminal Bekasi atau Bekasi Barat, kalau akhirnya ia sendiri yang memutuskan lewat Bekasi Barat. Dialog Kusir!

Mobil kami melaju perlahan, karena saat sampai di perempatan lampu merah Unisma, macet panjang menghadang setiap mobil yang akan lewat. Terlihat Pak Polisi menginstruksikan semua kendaraan beroda empat menuju arah Terminal Bekasi.

Nah, kan akhirnya lewat Terminal Bekasi juga!

“Bu, kita disuruh lewat Terminal Bekasi.”

“Tadi kan sudah saya bilang, Pak, lewat Terminal Bekasi aja.”

Tak kudengar jawaban darinya. Mobil kami belok kanan ke arah Terminal Bekasi. Sebelum akhirnya sampai di perempatan lampu merah Terminal Bekasi. Pak Sopir kembali berkicau.

“Bu, mau lewat Tambun atau Bekasi Timur?”

“Bekasi Timur aja Pak.”

“Tapi kadang suka macet, Bu, sebelum lampu merahnya.”

“Sebentar aja itu, Pak, macet di lampu merahnya.”

“Nanti kelamaan, Bu, di lampu merahnya.”

Pak Sopir seperti tadi, langsung mengambil inisiatif sendiri, lewat Tambun. Ia tak membelokkan mobilnya menuju Bekasi Timur, tapi lurus menuju Tambun.

Ampun dah ini Pak Sopir, tadi minta izin mau lewat mana, eh malah dia yang eksekusi.

Aku masih bersabar, mengingat kakiku sedang sakit. Jadi ku biarkan saja, apa yang Pak Sopir inginkan. Ia membawa mobil menuju Tambun dengan kencang, ia pikir jalanan tidak macet, padahal ini hari Kamis, biasanya kalau hari Kamis, akan macet di sepanjang Pasar Tambun sampai Rumah Sakit Karya Medika II, siap-siap saja.

Benar sudah, hari ini ternyata benar-benar macet. Belum sampai Pasar Tambun, macet sudah panjang, sepertinya akan lama. Kulihat gelagat Pak Sopir, sepertinya ia kebingungan.

“Pak, putar balik aja. Nanti setelah putar balik, ada satu gang di sebelah kiri, langsung masuk gang itu, lewat Kalimalang aja.”

“Baik, Bu.”

Setelah kelimpungan, akhirnya ia mengikuti instruksiku. Dari tadi ke mana aja? Ke laut aja, ya, sekalian dimakan ikan Paus.

Aku yang sejak tadi berusaha bersabar, akhirnya tak sabar lagi. Sejak tadi mobil masih berputar-putar sekitar Kota Bekasi. Sama sekali belum sampai di Kabupaten Bekasi. Kocak memang perjalanan kali ini.

“Belok kiri, Pak.”

“Iya, Bu.”

Pak sopir langsung mengikuti instruksiku. Mungkin ia sudah agak malu dengan semua inisiatifnya yang akhirnya gagal di tengah jalan. Aku sih menghargainya, tapi konsekuensinya kami jalan-jalan pagi dulu di Kota Bekasi.

Kuperhatikan raut wajah Pak Sopir. Ia seperti sedang mengalami depresi, terlihat frustrasi. Pegang setirnya, seperti antara mau dan tidak. Semoga Pak Sopir baik-baik aja, karena waktu pertama  bertemu, ia nampak baik-baik saja.

“Pak, nanti di sebelah kanan, ada jembatan. Kita belok kanan, masuk jembatan itu, ya.”

“Baik, Bu.”

Mobil kami melaju dengan lancar sampai akhirnya bertemu dengan jembatan yang aku katakan tadi. Tapi, mobil tersebut lurus, tak belok kanan sesuai arahannku.

“Pak, kok lurus? Saya bilang tadi belok kanan!”

“Itu jalan apa, Bu? Jalan alternatif, ya? Nanti macet enggak, Bu?”

“Ya, itu jalan alternatif, untuk menghindari macet di depan nanti.”

Benar saja. Macet sudah menghadang kami. Terlihat Pak Polisi sibuk menertibkan kendaraan agar macet segera terurai.

“Benar, kan, Pak, macet?”

“Oh, iya, ya, Bu.”

“Sekarang dari pada kita tua di jalan. Bapak sekarang putar balik, mumpung di belakang kita belum banyak mobil yang antri.”

Tensi darahku sudah mulai naik. Kaki yang tadi yeri, kini sudah tak yeri lagi. Aku aneh sama Pak Sopir, minta izin mau lewat mana, minta saran mau lewat mana, tapi semua ucapanku tidak diindahkannya. Ngeyel banget sih, otaknya isi batu semua kayaknya, keras kepala atau kepalanya keras. Seumur-umur baru ketemu sama orang yang seperti ini.

“Nah, masuk jembatan itu, Pak, lalu lurus terus.”

“Baik, Bu.”

“Belok kiri, Pak.”

“Baik, Bu.”

“Nanti di ujung jalan, belok kanan.”

“Baik, Bu.”

Akhirnya kami dapat terhindar dari kemacetan yang sempat akan menyerang tadi.

“Aman, kan, Pak? Enggak macet?”

“Ya, Bu.”

Coba kalau dari tadi ia mengikuti instruksiku, kita akan cepat sampai. Tidak usah mutar-mutar dulu, kayak komedi putar.

Iiik ….!

Mobil tersebut sampai di gerbang kantorku.Kubuka kaca pintu.

“Selamat pagi, Bu Salbiah.” Salam Security sambil mengangkat tangannya ke pelipis dan tersenyum.

“Pagi, Pak,” balasku membalas senyumnya.

Mobil kami berhenti tepat di depan Gedung Administrasi. Kubuka pintu dan bergegas turun sambil mengucapkan terimakasih pada Pak Sopir.

“Makasih, Pak. Saya bayar pakai go pay kan?”

“Iya, Bu, sama-sama. Maaf, ya, Bu, jadi mutar-mutar.”

“Ya, gpp, anggap aja jalan-jalan pagi.”

Kakiku yang tadi yeri sekarang sudah tak kurasakan yerinya. Mungkin ini hikmahnya, bertemu dengan sopir ngeyel, sakitku jadi hilang.

Photo by Matheus Ferrero from Pexels


Comments