Banjir

Pagi ini begitu dingin. Badanku seakan membeku saat membuka pintu rumah. Hujan yang turun sejak kemarin masih terasa sisanya. Ia seakan tak mau berpisah dengan Kota Bekasi. Rintiknya masih menyapa dengan lembut.

Kata orang-orang yang berdiam diri di rumah, hujan begini enaknya tarik selimut. Lah, aku sebagai abdi negara, harus menjalankan misi, menyelesaikan tugas negara, apapun kondisinya. Mau tidak mau harus tarik rok, bukan tarik selimut.

Semoga jalanan lancar. Biasanya, hujan yang berkepanjangan seperti ini, akan mengakibatkan banjir, sehingga kemacetan bakalan terjadi di setiap sudut kota Bekasi. Tapi, harus optimis, sampai kantor tepat waktu.

Aku berpamitan dengan laki-laki berjenggot yang sedang memanaskan motor, mencium kedua pipi, kening, dan bibirnya.

“Berangkat dulu, Biy.”

“Ya. Bun, hadphone, payung, jas hujan udah dibawa? Sepatu udah dimasukkan ke tas?”

“Alhamdulillah sudah di dalam tas semua, Biy.”

“Hati-hati, Bun.”

“Ya, Biy. Assalamualaikum.”

Kedua kaki menerobos genangan air di depan rumah. Banjirnya sampai semata kakiku. Bener loh, bukan semata kaki kodok. Walaupun memang ada kodok sawah sedang mengeluarkan suara khasnya, membentuk irama yang enak didengar telinga. Mereka seperti memberikan semangat pagi.

Sebenarnya, ngeri-ngeri geli kalau menerobos banjir di depan rumahku, karena banyak cacing bermain di sana. Khawatir, si cacing nyasar, malah nyangkut ke sandal jepit. Ih, geli rasanya.

***

“Maju, Bang, pelan-pelan. Motor honda jangan maju dulu, satu per satu, gantian, itu tuh mundur-mundur. Kalau enggak pada mau antri, jangan lewat sini, mutar arah ke Pasar Seroja aja.”

Teriakan Pak Ogah terdengar dalam beberapa radius, ia mengatur kendaraan yang hendak melewati banjir di depan Lapangan Sepakbola Perwira. Mulutku menganga, ya Allah banjirnya sampai selutut.

Akhirnya, kuputuskan mencari jalan alternatif, agar terhindar dari banjir selutut tadi. Bisa dibayangkan, rok kebangsaanku akan basah kuyup jika menerjang banjir tersebut.

***

Subhanallah, kulihat dari kejauhan, sebuah angkot sedang terparkir di pinggir jalan. Agak berlari mendekatinya. Sampai akhirnya, kakiku  naik dan duduk dengan manis.

“Stasiun Bekasi, Pak?”

“Iya, Mbak.”

Mobil tersebut melaju dengan dahsyatnya. Bak super hero yang sedang melawan monster. Banjir setinggi bumper-nya pun diterjang. Hari ini, hampir di setiap sudut Kota Bekasi digenangi banjir, wajarlah hujan tak kunjung reda sejak kemarin.

“Stasiun Bekasi … Stasiun Bekasi.”

Teriakan Pak Sopir membuyarkan lamunan. Ternyata sudah sampai Stasiun Bekasi. Kuserahkan uang tiga lembar dengan nominal dua ribu rupiah. Sedikit bonus untuk sopir yang keren, pantang mundur walau banjir menghadang.

Kubuka aplikasi ojek online. Lokasi jemput, tujuan, dan metode pembayaran sudah terkirim. Beruntung, beberapa detik kemudian, terkoneksi dengan sopirnya.

“Pak, bisa jemput?”

“Bisa Bu.’

“Saya di depan Indomaret Juanda.”

“Baik Bu, mohon ditunggu.”

Iiik ….!

“Maaf, dengan Bu Salbiah?”

“Iya.”

Kupakai helm dan langsung naik ke atas motor tersebut.

“Lewat mana, Bu?”

“Kalimalang aja, Pak.”

“Baik, Bu.”

Udara pagi yang begitu dingin tak menghalangi laju motor. Ia melaju dengan kencangnya. Sampai akhirnya terhenti di Pasar Proyek.

“Maaf … maaf, lapangan serbaguna banjir, jadi jalanan ditutup,” teriak seorang Pak Ogah di lampu merah perempatan Pasar Proyek.

Kami sempat bingung. Mau lewat jalan mana yang tidak ditutup. Banjir melanda hampir setiap sudut Kota Bekasi.

“Lewat mana, Bu?”

“Samping Ramayana saja, Pak."

“Baik, Bu.”

Motor melaju ke arah samping Ramayana Proyek. Ternyata, banyak pula motor-motor lain yang bernasib sama dengan kami. Saat akan belok ke kanan menuju Unisma, motor kami dihadang oleh seorang penjaga jalan.

“Maaf, Pak, enggak  bisa lewat sini, banjir selutut di depan Pom Bensin.”

Aku menghela nafas. Motor tersebut berbalik arah. Kembali ke Pasar Proyek.

“Ya, udah Pak, kita lewat Rumah Sakit Umum aja.”

“Baik, Bu.”

Pak Sopir langsung melaju ke arah Rumah Sakit Umum. Sama seperti sebelumnya, banjir melanda sepanjang jalan rumah sakit umum, sehingga ada pengalihan jalan ke arah kantor Walikota Bekasi.

“Bu, enggak bisa lewat sini juga!”

“Gpp, kita lewat depan rumah sakit Hermina Bekasi Barat.”

“Baik, Bu.”

Beruntung, banjir di sepanjang jalan sudah surut, sehingga kami dan banyak kendaraan lainnya dapat melaju menuju arah Kalimalang.

Sepanjang perjalanan, kuamati setiap bangunan, dinding-dindingnya terlihat bekas garis kecoklatan yang menandakan banjir melanda wilayah tersebut.

Motor kami  semakin melaju menuju Kalimalang. Sepanjang jalan ini tak ditemukan banjir, mungkin sudah surut. Kondisi jalan saat di Kalimalang benar-benar lancar jaya. Sampai akhirnya, motor kuarahkan belok kanan agar mengindari kemacetan di jembatan menuju Sekolah Tinggi Transportasi Darat.

“Pak, nanti di depan belok kanan, ya. Itu jembatan warna biru.”

“Baik, Bu.”

Tepat sampai jembatan biru, motor tersebut belok kanan dan mulai memasuki area perkampungan penduduk. Alhamdulillah kondisi jalan lancar jaya. Tak ada rintangan sedikit pun.

“Bu, sekarang lewat mana lagi?”

“Lurus terus saja, Pak.”

“Baik, Bu.”

Hampir saja sampai ke tujuan, akan tetapi banjir sebelum Kawasan Batik membuat kemacaetan di sepanjang jalan.

"Bu, macet. Kita lewat mana nih?"

"Ya udah, lewat kampung aja Pak. Bentar lagi di sebelah kanan ada gang, nah kita masuk situ."

"Baik Bu."

Setelah sampai di depan gang, motor belok ke kanan menyusuri jalan setapak. Kuarahkan kelokannya, sampai akhirnya berhenti di depan gedung administrasi kantorku.

“Makasih, Pak. Saya pakai go pay kan?”

“Ya, Bu.”

Kuserahkan selembar uang bernominal sepuluh ribu rupiah sebagai bonus. Pak Sopir terlihat sumringah menerimanya.

“Makasih, Bu.”

“Ya, sama-sama.”

Kuberlari menuju mesin absen. Alhamdulillah tepat waktu!

Photo by Burak from Pexels



Comments