Ibu Happy

Pagi ini matahari menerangi Bekasi dengan sukses. Aku yang sedari tadi mematung di pinggir jalan, akhirnya mendapatkan pencerahan. Mobil berpelat kuning muncul dari ujung jalan.

“Stasiun, Neng,” Pak Sopir melambaikan tangannya isyarat bahwa penumpang keduanya dipersilahkan naik ke mobil.

Perjalanan dari Kali Abang Nangka menuju Pos Polisi Stasiun Bekasi tak mengalami hambatan yang berarti. Padat merayap.

Kiri Bang … Kiri Bang!

Kuserahkan uang bergambarkan Tuanku Imam Bondjol sambil berlalu mengucapkan terimakasih.

Seperti biasa, posisi menentukan prestasi. Aku orang yang pertama berdiri di trotoar, pastilah bisa memilih berdiri di posisi mana. Belum ada yang nempatin, trotoar masih kosong. Saat sedang mengamati suasana pagi, Pak Ogah terlihat berjalan ala peragawan di atas catwalk. Ia menghampiriku dengan wajah berkerut.

“Pagi, Neng. Saya dari tadi belum lihat satupun elf di sini. Pada kena macet kali, ya.”

“Masa sih, Pak?”

“Iya, Neng. Coba dah tunggu aja.”

“Ya, Pak.”

Duh, mendengar perkataan Pak Ogah tadi. Hatiku jadi dag dig dug. Ini kan hari Senin. Kalau sampai terlambat masuk kantor, bersiaplah keabisan sarapan, eh maksudnya ketinggalan apel pagi. Susah sih jadi pegawai negeri sipil yang memiliki loyalitas tinggi kepada negara, jadi kalau tidak ikut apel pagi berasa ada yang kurang dalam hidup.

Sudah sepuluh menit mematung di trotoar. Tapi, belum ada tanda-tanda kehidupan, hanya angkot berwarna merah yang lalu lalang seperti setrikaan, semua sisi jalan dipenuhi warna merah. Saat sedang mencoba bersabar. Sebuah Carry mendarat percis di depan mataku.

Iiik …!

Suara remnya mengganggu konsentrasiku. Sesosok wanita tambun dengan rambut ikal ala Nadine Chandrawinata turun dari angkot. Setelah membayar ongkos, ia melangkahkan kakinya ke arahku tersambil tersenyum simpul.

“Pagi, Mbak. Hari Putra belum datang, ya?”

“Belum, Bu. Saya menunggu sejak tadi, tapi bumpernya belum terlihat sama sekali.”

“Olaaa, padahal sudah jam segini, ya? Saya pikir bakalan ditinggalin. Makanya tadi ngejar-ngejar angkot takut telat.”

“Minum dulu, Bu. Cape atuh ngejar-ngejar angkot.”

“Ok, deh.”

Ibu Happy. Temanku selama berada elf Hari Putra. Beliau sosok yang selalu ceria. Senyum selalu hadir di bibirnya. Kami memang baru beberapa bulan ini saling kenal. Tapi, keakraban sudah terjalin sejak pertama bertemu di trotoar. Bagaikan pinang dibelah dua, sosok kembar tergambarkan pada diri kami, hanya beda poster tubuh saja. Aku ramping bagaikan angka satu, dan ia tambun bagaikan angka nol.

Sambil menunggu elf di trotoar, biasanya beliau menceritakan apapun tentang kisah hidupnya. Aku sebagai pendengar yang baik, akan selalu setia menunggu cerita-cerita lucunya. Biasanya, cerita akan berakhir dengan tawa lepas dari kami berdua.

Sudah seperempat jam, kami bercakap. Mulut seperti berbusa, tapi Hari Putra yang ditunggu, tak kunjung datang.

“Bu, sudah jam segini, kok Hari Putra belum datang, ya?”

“Nah, iya nih. Biasanya jam segini sudah datang, kok. Coba Ibu telepon Pak Harinya.”

Ibu Happy mengambil gawainya dari dalam tas dan langsung menghubungi Pak Hari. Mereka bercakap dengan sengitnya. Entahlah, aku tak mendengar jelas suara Pak Hari. Pastinya setelah mematikan telepon genggamnya, raut wajah Ibu Happy berubah menjadi unhappy, menunduk sambil memasukkan kembali gawainya ke dalam tas.

“Mobil elf mulai hari ini enggak boleh lewat Stasiun Bekasi, Mbak. Mereka hanya boleh sampai terminal Bekasi, terus putar balik lagi ke Cikarang.”

“Astaqfirullah, loh, kenapa, ya?”

“Katanya sih, karena elf bikin macet di Stasiun Bekasi. Jadi hanya boleh sampai terminal Bekasi.”

“Lah, terus, kita naik apa, Bu?”

“Naik, apa, ya?”

“Ya udah, kita naik mobil angkot sampai Bulak Kapal, nah dari situ kita nyambung lagi naik taksi. Kalau naik taksi dari sini agak mahal, Bu.”

“Ya, udah dah, begitu aja Mbak, yang penting, enggak telat sampai kantor.”

“Oh, ya, Bu. Kita ajak Mbak-Mbak yang pakai baju putih itu. Siapa namanya, ya, Bu? Biar bertigaan, kan jadi lebih hemat.”

“Oh, itu namanya Mbak Ika, karyawan ruko di Lippo Cikarang.”

“Ok, aku ajak Mbak Ika, ya.”

“Sip, Bu!”

Suasana pagi itu, tiba-tiba menjadi tegang. Kepanikan tampak dari gelagat semua penumpang. Ada yang terlihat mondar-mandir, sibuk menghubungi seseorang dengan telepon genggamnya, memesan ojek online, atau ada pula yang tiba-tiba naik angkot berwarna merah lagi, entah mau kemana. Banyak para penggemar setia elf kocar-kacir  menyelamatkan diri, agar tidak telat sampai ke kantor, termasuk aku dan Ibu Happy.

Masih dengan perasaan was-was, akhirnya kami bertiga naik angkot menuju Bulak Kapal. Sepanjang perjalanan, kami semua terdiam membisu. Mulut seperti terkunci. Mau bicara juga susah, situasi gawat ini memang jarang terjadi, sehingga seperti tersambar petir di siang bolong. Ekspresi wajah kami jadi gosong.

Sesampainya di Bulak Kapal. Kami berhenti tepat di depan Pos Polisi. Terlihat banyak penumpang elf yang terdampar di sini. Kami bertiga agak bingung mencari angkutan umum. Taksi yang kami prediksi banyak mangkal di sana, rupanya tak terlihat satupun bumpernya.

“Bu, sekarang kita naik apa? Enggak ada taksi sama sekali.”

“Ya Allah, gimana, ya, Mbak.”

“Pesan online, juga, enggak dapat-dapat, nih, Bu.”

“Ok, semua jangan panik. Kita bersabar sebentar, ya, Mbak Sal dan Ika. Kita berdoa, semoga sebentar lagi taksi akan datang.”

Mendengar perkataan Ibu Happy. Hatiku sedikit tenang, walau sebenarnya kami bertiga pusing. Beruntunglah saat genting begini, ada Ibu Happy di sampingku. Kalau tidak, apalah jadinya aku, bisa-bisa balik lagi ke rumah, tidak masuk kantor.

Wajah kami pucat pasi. Sudah kesiangan dan tidak ada angkutan umum pula. Apa lagi yang harus kami lakukan. Kalau sepuluh menit kemudian, kami masih belum mendapatkan mobil sewaan. Mau enggak mau, kami akan memberhentikan mobil pribadi. Maksudnya numpang gitu.

“Bu, itu taksi!”

“Oh, ya, Mbak, alhamdulillah.”

Secepat kilat tangan Ibu Happy melambai, sampai taksi mengerem di depan kami.  Tergopoh-gopoh kami menaiki taksi tersebut. Parno saja kalau benar-benar enggak ada angkot.

“Cikarang, ya, Pak.”

“Ya, Bu.”

Sambil menarik nafas panjang. Kulirik dua wanita di samping kanan dan kiri. Mereka terlihat duduk dengan manis. Ibu Happy, yang tadi wajahnya pucat, sekarang muncul kembali aura happy-nya. Ia mulai bisa merekahkan bibirnya kembali.

Kejadian ini mengisyaratkan bahwa elf merupakan bagian terpenting dalam hidup kami, seperti hari ini.

Akupun, sekarang sudah tidak bisu lagi. Bisa bicara dengan lancar.

“Bu, kita urunan berapaan? Aku turun di Kampung Utan. Ibu dan Mbak Ika, turun di bundaran Lippo Cikarang, kan?.”

“Ok, berarti kita urunan sesuai lokasi turun, ya.”

Kami sibuk menghitung biaya taksi. Sampai tak terasa Kampung Utan sudah di depan mata.

“Berhenti depan mini market itu, ya, Pak,” pintaku pada sopir taksi.

“Siap, Mbak,” balasnya.

Aku berpamitan dengan kedua teman seperjuanganku. Senyum merekah terlihat dari wajah mereka. Alhamdulillah, hambatan hari ini dapat teratasi. Terimakasih Ibu Happy, tanpa ibu, sepertinya aku tidak akan bisa sampai Kampung Utan, yang ada sampai di rumah.

Photo by Andrea Piacquadio from Pexels



Comments

  1. Seru seru ceritanya Mbak. Jadi agak ketohok bagian PNS dengan loyalitas..soalnya saya jarang apel. Haha. Untung skrg lagi wabah gak perlu apel

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seru nih ada yang ketohok, he. Semangat apel di pagi hari!

      Delete
  2. PNS teladan nih Mbak.. Seringnya denger PNS yang suka mangkir apel.

    ReplyDelete
  3. Ikutan lega Mbak akhirnya bisa sampai ke rumah dengan selamat. Elf itu sejenis angkutan ya di sana. Kl di kota saya adanya angkot, becak motor, sm Bus Damri hehe

    ReplyDelete
  4. Ya sejenis angkutan, mini bus maybe.

    ReplyDelete
  5. Jadi kepikiran kalau punya anak cewe lagi mau dinamai happy, biar happy terus... Hihi... Seru mba ceritanya.

    ReplyDelete

Post a Comment