Jambret

Dengarlah kicau burung-burung bernyayi, menyambut mentari pagi, indah dan berseri. Sebagai tanda, syukur pada yang kuasa, atas nikmat alam raya, untuk kita semua …

Senandung syair sebuah lagu bernuansakan suasana pagi, ikut mengantarkankku menuju angkot berpelat kuning, yang sudah terparkir di pinggir jalan.

“Stasiun Bekasi, ya, Bang!”

“Siap!”

Badanku merunduk masuk ke dalam angkot yang cukup terlihat istimewa.

Bah! Ini angkot atau angkot? Beda dari yang lainnya, mirip kamar tidurnya raja. Banyak renda-renda bergelantungan di setiap sisi kacanya. Kursinya clear, lantainya berkarpet pula. Full music lagi!

Sepanjang perjalanan dari Kantor Kecamatan Bekasi Utara sampai Stasiun Bekasi, musik selalu on. Lagu-lagu dari The Father of Broken Heart, berasa tiba-tiba enak didengar sampai di telingaku. Padahal, tak satupun mengerti arti dari syairnya, lah orang betawi dikasih makan lagu jawa, bujubuneng, aye kaga bakalan ngerti dah. Tapi, lumayanlah nadanya  menghidupkan suasana pagi.

***

Iiik …!

Rem kaki diinjak dengan kuat oleh Pak Sopir. Aku turun di depan Pos Polisi masih dalam keadaan fly akibat lagu-lagu tersebut.

“Makasih, Bang.”

“Keren, ya, Mbak. Lagu-lagunya?”

“Ya, Bang, Keren banget, TOP Bang!, tapi sayangnya saya enggak ngerti artinya apa!”

“Huahahaaaa …”

Kutinggalkan Pak Sopir yang sepertinya tertawa terpingkal-pingkal setelah mendengar omonganku tadi.

Terserahlah. Aku mah selalu pasrah, walaupun diketawain.

Hari ini cukup sepi. Lalu lalang kendaraan tak terlalu banyak. Biasanya kan, jam segini, para pengendara sepeda motor seperti kesetanan, ngebut tak karuan. Merasa jalanan milik pribadi. Tapi, hari ini sebaliknya.

Para calon penumpang setia elf sudah berdatangan. Kulihat dari kejauhan seorang wanita bergaya  Fatin Shidqia berjalan menghampiriku.

“Pagi, Mbak.”

“Pagi, Bu.”

“Yosi Putra belum datang, ya, Mbak?”

“Iya, Bu. Lima menit lagi juga datang.”

“Mbak sudah lama nunggu?”

“Enggak, Bu. Saya baru aja menginjakkan kaki di trotoar.”

“Oh ….”

Sepuluh menit kami mengobrol ngalor-ngidul. Akhirnya kutahu namanya, Ibu Riri. Diskusi kami berjalan dengan alot. Aku suka dengan cara Ibu tersebut berbicara, mirip penyiar radio. Gaya berbusananya juga kece, usia tak mempengaruhi penampilannya.

***

Iiik …!

Yosi Putra berhenti. Suara klaksonnya menyuruh kami untuk segera masuk ke dalam elf. Berduyun-duyun calon penumpang menaikinya, dan setelah duduk di kursi masing-masing, maka kami telah sah menjadi penumpangnya.

“Mbak, kosong, kan?”

“Oh, ya. Silakan.”

Bu Riri, rupanya ingin melanjutkan diskusi yang sempat terputus tadi. Buktinya, ia ingin duduk di sampingku. Aku duduk di bagian tengah.  Pada tempat tersebut, tersedia dua kursi. Karena aku duduk duluan, akhirnya aku mendapatkan kursi di sebelah kanan, yang dekat jendela. Sedangkan Bu Riri mendapatkan kursi di sampingnya dekat pintu.

Obrolan yang sempat terputus, benar-benar dilanjutkan di dalam elf tersebut. Bu Riri menceritakan pekerjaan dan keluarganya. Sebagai pendengar setia, sesekali aku memberikan komentar. Dia begitu terharu dengan setiap komentar yang keluar dari mulutku. Padahal komentarku datar-datar saja, tidak ada yang istimewa. Kenapa, ya?

Iiik …!

Elf berhenti di perempatan lampu merah Terminal Bekasi. Masuk dengan gagahnya dua orang laki-laki bertopi, bersepatu olahraga, dan bermasker hitam. Mereka duduk di kursi dekat pintu. Satu orang percis duduk di depan Bu Riri.

Kami tak menghiraukan keberadaan mereka berdua. Ada dan tiadanya mereka, tak berpengaruh dengan kondisi dompet kami, isinya tetap recehan.

Setelah mereka duduk di sanggasananya, suasana tiba-tiba hening. Tak kudengar satupun suara dari penumpang lainnya. Melihat kondisi tersebut, akhirnya aku dan Bu Riri pun mengakhiri obrolan.

Aku mengambil gawai dari dalam tas, begitu juga dengan Ibu Riri. Tangan kami begitu lincah memainkan semua tombol pada gawai. Kami berdua benar-benar serius, aku sibuk membaca berita hari ini, dan entahlah apa yang dilakukan dengan Bu Riri, ia pun tak mau kalah sibuknya denganku.

Yosi Putra melaju dengan kencang. Akhirnya kami sampai di perempatan lampu merah Bulak Kapal.

“Cikarang … Cikarang … Cikarang,” teriak Pak Sopir.

Sambil menunggu lampu menjadi hijau, rupanya Pak Sopir tidak mau ketinggalan kesempatan, siapa tahu ada penumpang yang naik. Kan masih ada kursi kosong di sampingnya.

Teriakan dahsyatnya, tak mengubah takdir. Tak satu pun orang yang naik ke dalam elf. Kulirik wajahnya, terlihat datar. Sedih atau bahagia tak ada bedanya.

Lampu telah berubah menjadi hijau. Angkot tersebut menancap gas dengan kencangnya.

“Buusss … Buuss …”

Hembusan angin menerobos jendela. Aku yang duduk di dekatnya, sedikit menggigil. Aku kembali berkonsentrasi pada gawai. Begitu juga dengan Bu Riri. Kami memang selalu kompak, kalau urusan yang beginian.

Kiri Bang … Kiri Bang!

Suara dari salah satu laki-laki bertopi, bersepatu olahraga, dan bermasker yang duduk di dekat pintu, membuyarkan konsentrasi Pak Sopir. Elf berhenti di depan sebuah gang sempit.

Settt!

“Copeeet … copeet … copet!”

Teriakan Bu Riri mengagetkan seluruh penumpang. Satu orang penumpang yang percis duduk di depan Bu Riri menjambret gawainya, mereka berdua berlari sangat kencang, dan masuk ke dalam gang sempit itu.

“Ada apa, Bu?

Handphone saya dijambret.”

“Ya, Allah …”

Seketika kulihat Pak Sopir membuka pintu mobilnya, ia turun mengejar penjambret tersebut.

Demikian juga dengan Bu Riri dan beberapa penumpang lainnya, termasuk aku. Kami bersama-sama mengejar penjambret tersebut.

“Kemana-mana larinya?”

“Kesitu Pak!”

“Ya, udah, Kita berpencar saja.”

Tanpa komando, kami memisahkan diri menelusuri gang yang sempit dan cukup kotor tersebut. Kami memasang mata kucing, mengintai setiap sudut gang tersebut.

Kami hanya menemukan jalan setapak yang dipagari rumah-rumah penduduk. Ingin rasanya memeriksa satu per satu rumah tersebut, tapi tak etis. Kami bukan penegak hukum, tak membawa surat tugas pemeriksaan pula. Selain itu, ingat tujuan utama, sampai di kantor dengan segera, sehingga dibatasi waktu.

Kami sudah berkeliling bertemankan peluh. Sialnya, penjambret tersebut hilang seperti ditelan bumi. Sama sekali tak ditemukan gerak-geriknya.

“Udah kabur jambretnya. Udah-udah, balik ke mobil.”

Langkah gontai mengiringi kami naik ke mobil. Kuperhatikan raut wajah Bu Riri kecewa.

“Ayo, Bu, masuk.”

“Ya, Mbak.”

Sesampainya di mobil. Suasana kembali hening. Aku tak berani berkata panjang lebar, apalagi berceramah, hanya bisa berkata sebait.

“Sabar, ya, Bu. Insya Allah nanti pasti dapat pengganti handphone yang lebih canggih lagi.”

“Ya, Mbak, makasih.”

Aku masih berpikir. Kami berdua sama-sama memegang gawai saat itu. Bedanya, aku duduk berjauhan dengan penjambret, dan Bu Riri dekat dengannya. Seandainya aku yang dekat dengan penjambret tersebut, pastilah gawaiku yang raib. Mana tidak punya duit lagi.

Astaqfirullah … 

Perjalanan yang begitu mengasyikkan berubah menjadi menyedihkan. Kesedihan tersebut masih terus kurasakan sampai di Kampung Utan.

“Kampung Utan abis … Kampung Utan,” teriak Pak Sopir.

Aku berpamitan dengan Bu Riri sambil menepuk pundaknya.

"Sampai ketemu besok lagi, ya, Bu dengan handphone yang baru."

Senyum terpancar dari wajah Bu Riri. Semoga hari ini, ia dapat rezeki. Aamiin

Photo by Joe Alfaraby from Pixabay

Comments

  1. Jahara banget ya si jambret, duduk di sebelah Bu Riri ehh ternyata dari tadi mengintai buat ngambil gawainya huhuuu

    ReplyDelete

Post a Comment