Ngantuk

“Kak, Bunda berangkat duluan, ya. Nanti kamu berangkat bareng Abiy,” perintahku sambil memakai kaos kaki.

“Iya, siap. Bun … Bun ... lah ... itu mata Bunda kenapa, kelopaknya kok setengah terbuka?” tanya Kakak karena merasa aneh.

“Kalau kelopak mata seperti ini tandanya kurang duit, eh salah kurang tidur,” candaku pada sulung.

"Idih ..., Bunda mah."

Sulung mencium tanganku sambil tertawa geli.

Aku berjalan menyusuri rumah-rumah tetangga yang masih terang, lampu belum dimatikan, karena Sang Surya masih sibuk beberes, sehingga belum sempat memancarkan sinarnya.

***

Beruntung, saat sampai di pinggir jalan, langsung kutemukan mobil berpelat kuning. Tanpa basa basi, kunaiki mobil tersebut dan mencari posisi nyaman di bagian paling belakang.

Enak nih buat memejamkan mata.

Jetok!

Kepalaku kejedot kaca bagian belakang mobil. Rupanya mataku kantuk berat, sehingga tak melihat kaca di sampingnya. Tak ada rasa sakit, sehingga kelanjutkan memejamkan mata.

Jetok!

Kedua kalinya kepalaku terjedot kaca bagian belakang mobil. Kali ini, aku baru merasakan sakit.

Duh, sakitnya!

Tanganku mengusap-usap bagian pelipis wajah. Alhamdulillah, tidak memar. Semoga wajahku berubah jadi cantik setelah kejedot. Aamiin.

Lanjut bobo lagi, ah ...

Saat aku membuka mata lebar-lebar, ternyata aku sudah berada di depan pos polisi Stasiun Bekasi.

“Kiri Bang … Kiri Bang ….”

Aku turun dari angkot dengan gontai. Mataku masih ingin merem, tak punya daya untuk melek.

“Makasih, Bang. “Kuserahkan uang nominal dua ribuan sebanyak tiga lembar.

Kakiku menuju trotoar, lokasi mangkal para penumpang elf. Badan yang masih lunglai bersandar pada pagar besi di samping trotoar.

Enak tenan, kalau ada kasur di sini ...

Husss … jangan berkhayal!


***

Iiik …!

Elf Yosi Putra membuyarkan khayalanku. Semua penumpang yang menunggu sejak tadi bubar jalan, mereka masuk satu per satu secara tertib.

Aku langsung mengambil posisi di belakang Pak Sopir. Suasana saat itu sangat bersahabat. Angin semilir menerobos lewat jendela, Cocoklah untuk memejamkan mata kembali.

Posisi paling enak sudah kudapatkan. Diriku langsung menuju alam bawah sadar. Bermimpi bertemu dengan seorang pangeran bertopeng.

Duh, gagah banget tuh pangeran. Poster tubuhnya tinggi besar, kekar dan berjenggot tebal. Aku mendekatinya perlahan, ia sadar kalau ada yang mendekatinya, akhirnya ia menoleh ke arahku dan mendekatiku pula, tiba-tiba ... ia membuka topengnya. Wow, aku terperanjat kaget  setelah mengetahui wajah dibalik topeng tersebut.

Dan akhirnya aku terbangun.

Iiik …!

Rem pakem Yosi Putra memyadarkanku dari bunga tidur.

Jetok!

Kepalaku terjedot kaca jendela mobil. Kuusap kepala tersebut perlahan. Rasanya sih tidak terlalu sakit. Tapi, pusing. Samar-samar terlihat seorang ibu yang berkacamata tersenyum kepadaku.

Rasanya kantuk ini masih merasuki mataku. Walau merasakan sedikit sakit di kepala, aku tetap melanjutkan memejamkan mata. Kali ini aku tak bermimpi, dan terbangun kembali karena elf berhenti mendadak lagi.

Iiik …!

Tepat di perempatan lampu merah Terminal Bekasi.

Jetok!

Kepalaku kembali terjedot kaca jendela mobil.

Haduh, sekarang baru terasa sakitnya.

Ibu berkacamata tadi menyolek tanganku.

“Ngantuk banget, ya, Mbak?”

“Ya, Bu.”

“Hati-hati, Mbak. Nanti kepalanya sakit kejedot kaca jendela terus.”

Aku tak menanggapi ucapan ibu tersebut. Faktanya, orang kejedot kaca meski terasa sakit. Itu wajar, yang penting kepalanya masih ada.

Mataku masih mau dinina bobokan. Berat sekali membukanya. Aku kembali memejamkan mata dengan bahagia.  Entah, sudah berapa lama aku terpulas, yang pasti aku terbangun kembali karena Yosi Putra membanting setir.

Huuuss … Iiiiik …!

Brak!

Tubuhku seperti akan terjungkal keluar elf. Beruntung ibu berkacamata langsung bergerak, dalam kondisi darurat tersebut, beliau menangkapku dengan tangannya.

“Mbaaak!”

Aku terbangun dengan terkaget-kaget.

Allahu Akbar …. Allahu Akbar

“Ya Allah, Mbak, hampir aja, Mbak keliatannya ngatuk banget? “

“Iya, Bu.”

“Hati-hati, Mbak. Kalau mau tidur di kursi belakang aja, lebih aman. Itu ada kursi belakang yang kosong. Saya ngeri lihat Mbak ngantuk, takut nyungsep keluar elf, apalagi mobil ini ngeremnya selalu mendadak dan kencang banget.”

“Ya, Bu. Maaf, ya, Bu, jadi merepotkan.”

“Gpp, Mbak. Cepat sana pindah.”

Saat berhenti di perempatan lampu merah Bulak Kapal. Aku mengikuti arahan senior, pindah ke kursi di bagian belakang. Demi keamanan.

Benar kata ibu berkacamata, kalau mau nyaman dan aman saat tidur di elf, maka di belakang adalah posisi kramat, yang direbutkan banyak orang. Beruntung di bagian tersebut hanya diduduki oleh dua orang penumpang, sehingga tersisa kursi kosong untuk dua penumpang lagi.

Enaknya rek ...

Tanganku melipat ke depan, bersedakap. Duduk di kursi panas, ternyata kursi ini selalu jadi rebutan. Baru tahu aku. Walau tidak empuk, setidaknya kenyamanan sudah terjamin.

Kejadian barusan tak menyurutkan mataku untuk tetap beristirahat. Kalau lampu, ini mah bukannya lima watt lagi, tapi sudah korsleting, jadinya pingin gelap terus.

“Hoam … hoam ...”

Suara menguap tak terbendung lagi. Aku kembali memejamkan mata. Tak menghiraukan hiruk pikuk dunia luar.

Dalam buaian mimpi, aku berlari kencang dikejar seekor Serigala, dan taringnya yang tajam tepat mendarat di betisku.

“Awww …”

Suara teriakanku membuat penumpang lain terkejut. Mata mereka menuju ke arahku. Seorang wanita berjilbab merah spontan mencolek lenganku.

“Ada, apa, Mbak?”

“Ada, apa, Mbak?”

“Masya Allah, enggak ada apa-apa Bu. Saya bermimpi tadi.

“Olaa, Mbak. Kirain ada apa-apa. Seru, ya mimpinya?”

"Iya, Bu!"

Samar-samar kulihat Ibu berjilbab merah tersenyum, mungkin dia menertawakanku atau malah merasa kasihan, sehingga sampai melebarkan bibirnya.

Biarin aja ah. 

Memang sih, tak ada yang luka dengan tubuhku, akibat ngantuk yang mendera ini. Tak ada luka fisik, tapi ada luka batin. Malunya minta ampun! Apalagi urat maluku masih berfungsi.  Tapi ya mau bagaimana lagi, obat ngantuk ya tidur.

Beruntung di elf tak banyak yang menertawakan kekonyolanku. Mungkin sesama pekerja, mereka memahami hal tersebut. Bahkan mungkin ada yang bernasib sama denganku?

Sejak mimpi betisku digigit serigala, akhirnya mataku tidak ngantuk lagi. Melek lebar. Mungkin kalau tidur lagi, khawatir mimpi digigit gajah, jadilah takut tidur.

Iiik …!

"Kampung Utan ... Kampung Utan abis ..."

Yosi Putra berhenti di depan mini market. Aku berpamitan dengan ibu berjilbab merah dan berkacamata, senyumku mengembang dan mengucapkan terimakasih.

Terimakasih Bu, sudah jadi malaikat tak bersayap di saat aku tidur. *eh.

Photo by Tyler Wang from Pexels


Comments

Post a Comment