“Bi, Bunda
kayaknya hari ini, berangkat ke kantornya sewa mobil online deh, soalnya kalau pakai angkot ribet.”
“Ya, Bun,
sebaiknya jangan pakai angkot. Bisa dibayangkan keribetannya, nanti dikira mau
pulang kampung.”
Percakapan
sesaat sebelum berpamitan dengan belahan jiwaku, akhirnya berakhir dengan
sukses. Ia menyetujui keinginanku yang berniat sewa mobil online dari rumah
sampai ke kantor.
Betapa tidak.
Hari ini, aku membawa setumpukan toples plastik untuk kegiatan kantor, yang
jika dikalkulasikan nominal harganya mencapai juta-jutaan, seandainya itu uang
tunai, kayaknya butuh lebih dari satu dompet untuk menyimpannya.
Kami
tergopoh-gopoh membawa toples-toples tersebut ke lokasi tempat aku dan sopir
mobil online bertemu. Lumayanlah bikin keringat sedikit menetes dari kening.
Kulirik laki-laki berjenggot yang ada di depanku. Peluh pun menghampirinya.
“Bun, dihitung
dulu, sudah cukup belum jumlahnya?”
“Ok, Bunda
hitung.”
Sepuluh … dua puluh … tiga puluh … empat puluh … lima
puluh … enam puluh … tujuh puluh … delapan puluh … sembilan puluh … seratus. Pas!
“Ok, sip, pas,
Bi.”
“Ya udah,
mobilnya belum datang Bun?”
“Kalau
lihat map-nya, bentar lagi nyampe.”
Dari kejauahan
mobil berwarna merah menghampiri kami.
“Maaf, Bu
Salbiah?”
“Iya, betul Pak?
Laki-laki
berjenggot yang sedari tadi menemaniku, melangkahkan kakinya menuju bagasi
mobil. Ia memasukkan toples plastik tersebut. Tak kalah gesitnya, pak sopir
ikut membantu merapikannya.
“Berangkat dulu,
Bi, assalamualaikum” Kucium tangannya sebagai tanda meminta izin berangkat ke
kantor hari ini.
“Walaikumsalam
wr wb, hati-hati, Bun.”
***
Brak!
Kututup pintu
mobil sewaan tersebut. Posisi duduk dibelakang sopir adalah favoritku. Aku tak biasa duduk di depan bersamanya. Kecuali naiknya keroyokan. Jadilah, seisi mobil bakal ramai dengan kehebohan kami, biasanya seperti itu.
“Lokasi tujuan
ke Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian, ya, Bu? Pak Sopir
memulai percakapan.
“Betul, Pak.
Nanti dari Bekasi Timur, lurus terus lewat Kalimalang, ya, Pak,” balasku
menanggapi.
Klik!
Air conditioner dihidupkan oleh pak sopir.
Adeeem ....
Tapi, beberapa menit kemudian, hidungku yang mancung ke dalam, bergerak-gerak seperti mencium sesuatu.
Adeeem ....
Tapi, beberapa menit kemudian, hidungku yang mancung ke dalam, bergerak-gerak seperti mencium sesuatu.
Aku seperti kenal dengan bau ini? Bau apa ya? Duh bau rokok!
Bau tersebut
menyeruak ke segala penjuru mobil. Mungkin sebelumnya, pak sopir atau ada orang lain yang merokok di dalam mobil tersebut., sehingga residu baunya masih terjerembap di dalam mobil.
Aku merupakan seorang
yang paling anti dengan rokok, sehingga hidung merupakan detektor yang sangat
sensitif. Sedikit saja bau tercium, alarm alami ini sudah dapat mendeteksinya dengan tepat.
Aku berusaha
menahan diri, mencoba bersabar dan bertahan. Mengatur nafas dalam beberapa menit, sampai akhirnya menyerah juga. Padahal, mobil sewaan tersebut, baru sampai
di masjid Annur, tapi kepala rasanya sudah mau fly.
Ditambah lagi, saat mobil sewaan tersebut menyalip angkot di depannya, asli jantungku berdebar-debar tak karuan. Beruntung masih berdetak.
Seeeeet… !
Teeeeet …!
Tukikannya ke
arah kiri membuat isi perutku terasa mual.
“Maaf, ya, Mbak,
agak nyalip dikit, habis kelamaan sih angkotnya.”
Sedikit kesal, sehingga pernyataan dari pak sopir tak kujawab. Memang sih, posisi tadi tuh
kita harus nyalip, apalagi angkot tersebut jalannya sangat lambat, tapi ya namanya
angkot, pasti jalannya kayak kura-kura. Aku tuh khawatir sama bahayanya, bukan lambatnya, ada
pepatah bilang, pelan asal selamat.
Setelah
menyalip, akhirnya kami sampai di pertigaan Summarecon Bekasi. Aku yang sudah
tak tahan dengan bau rokok, akhirnya menyerah.
“Pak, maaf, saya
enggak kuat dengan bau rokoknya.”
“Oh, maaf, Bu.
Iya nih semalam keponakan saya pinjam mobil ini, dan baru ketahuan saat saya hendak menjemput Ibu.
Maaf, ya Bu.”
“Saya buka kaca jendelanya, ya, Pak?”
“Boleh, Bu.”
Kubuka kaca jendela
pintu mobil tersebut. Hembusan angin dari luar menerobos masuk ke dalam mobil.
Paru-paruku cukup berbahagia, karena bau rokok tersebut, sedikit berkurang.
Tapi ini bukan akhir segalanya, saat laju kami terhenti di perempatan lampu
merah. Sepeda motor yang berdiri di depan kaca jendela mobil, menyemprotkan asapnya
dengan dahsyat.
Buuurrr …!
Asap tersebut
tepat mengenai wajah imutku.
Allahu akbar …
Ya Allah, asapnya ngebul banget
Dengan terpaksa,
aku menutup kaca jendela mobil. Lega rasanya sudah terbebas dari asap motor. Selanjutnya, aku menikmati perjalanan dengan mobil sewaan tersebut. Ia kembali melaju setelah lampu berubah jadi hijau. Beberapa
meter, muncul kembali bau rokok di segala penjuru mobil.
Ya Allah … dia datang lagi!
Aku yang tak
tahan, akhirnya sedikit membuka kaca jendela mobil.
“Bau rokok lagi,
ya, Bu?”
“Ya, Pak. Pusing
kepala.”
Pak Sopir
membiarkan apa saja yang aku lakukan. Kadang, aku tutup kaca jendelanya, kuturunkan,
kunaikkan, kututup lagi, kuturunkan lagi, kunaikkan lagi, begitu seterusnya bolak
balik, kayak setrikaan. Sampai saat kami berhenti di perempatan lampu merah Bekasi Timur, ada seorang
pengendara yang mengamati kelakuan anehku tersebut. Kulihat wajahnya tersenyum,
mungkin ia menertawakanku. Biar sajalah, terserah dia.
Sepanjang perjalanan,
aku hanya berdoa. Semoga perjalanan lancar, segera sampai di kantor, dan kaca mobil
ini tidak rusak akibat ulahku.
Iiik …!
Mobil sewaan tersebut
berhenti di depan gedung administrasi kantor. Kuucapkan terimakasih pada pak sopir.
“Makasih, Pak. Lain
kali bawa blower, ya, sehingga saat
ada kejadian seperti ini, mudah teratasi.”
“Ya, Bu, maaf, ya.”
“Ya, Pak, enggak apa-apa.”
Kulangkahkan kaki
masuk ke dalam kantor dan sedikit berlari menuju kamar mandi.
Uweeek!
Semua isi perutku
keluar di wastafel.
Photo from Pixabay.com |
Comments
Post a Comment