Sorry

Hujan masih membasahi bumi saat terdengar suara ketukan pintu. “Tok, tok, tok, mah, buka pintunya donk, dingin nih diluar”. Rani, terhenyak dari lamunannya, bergegas berdiri dan menuju pintu, “Tumben, pah, malam banget pulangnya?”. “Iya, nih, ada tugas tambahan”, jawab Rudi dengan cepat.

Malam semakin larut. Rani terbangun dari tidurnya saat mendengar suara dari telepon genggam suaminya. “Duh, siapa sih yang tengah malam telepon”, guman Rani dalam hatinya. Sambil berjalan sempoyongan, Rani menuju arah suara telepon. Saat ingin mengangkat teleponnya, ternyata telepon langsung mati dan tak terdengar panggilannya lagi. Rani berusaha mengecek dari mana panggilan tersebut, tapi gagal karena Rudi membuat kata kunci dalam telepon genggamnya.

Suara lantang ayam membangunkan kedua pasang suami istri tersebut. Tanpa basa basi Rani langsung memberitahukan Rudi, kalau semalam terdapat panggilan tak terjawab. Rudi langsung bergegas mengambil telepon genggamnya, entah mengapa, setelah melihat dari mana panggilan tersebut, raut wajah Rudi menjadi khawatir dan pucat pasi. “Kenapa pah?, kok jadi ngelamun? Emang semalam panggilan telepon dari siapa?”, tanya Rani. “Teman kantor”. Jawab Rudi.

Tujuh tahun kemudian……

“Duh, kenapa ya, si Dede kok, nangis terus. Apa sakit? badannya nggak panas”, guman Rani dalam hati. Sudah beberapa hari ini buah hati mereka rewel dan enggak jelas apa penyebabnya. Rani hanya terdiam bisu, sedang berpikir, apa yang harus dia lakukan. Rani enggak mungkin menelepon suaminya karena suaminya pasti marah kalau di telepon saat jam kerja.

“Pah, si Dede kenapa, ya, beberapa hari ini kok rewel?, Rani memulai pembicaraan. “Lho, kan kamu ibunya masa enggak ngerti sih, penyebab anak rewel”, dengan emosi Rudi menjawab. “Ya, aku kan nanya, siapa tahu kamu tahu, kamu juga kan ayahnya, enggak usah emosi gitu donk jawabnya”, Rani membalas.

Rani tertegun dalam kesendirian. Entah mengapa, akhir-akhir ini sang suami cepat sekali emosinya naik, enggak bisa diajak ngobrol, langsung membentak-bentak. Perubahan yang sangat signifikan. Bukan, ini bukan Rudi yang aku kenal sejak dulu, dulu semasa kami kuliah.

Rani mencoba untuk diam, berusaha untuk mengendalikan dirinya, agar sang suami tidak terbakar emosinya. Setiap harinya, Rani bagaikan patung bernyawa. Hanya berbicara dengan bayi yang baru saja dilahirkannya, tak ada canda dan tak ada komunikasi dua arah. Antara sedih dan bahagia. Sedih melihat perubahan sikap suaminya dan bahagia melahirkan anak yang cantik jelita. 

“Pah, kenapa sih, kok pulangnya malam terus”, tiba-tiba pertanyaan Rani membangunkan lamunan Rudi. Tanpa basa basi, “Plak” Rudi menampar istrinya tersebut. Seketika juga hati Rani hancur berkeping-keping. Perang dingin yang selama ini disembunyikan, meletus bak  bom atom di malam hari.

Seminggu kemudian….

“Mah, aku mau bicara”, pungkas Rudi. “Mah, aku ingin menceraikan kamu, aku ingin menikah dengan wanita yang aku sayangi”. Bak, mendengar petir di siang bolong, Rani langsung menatap mata suaminya dan menangis sejadi-jadinya, mulutnya tak berbicara sepatah katapun.

Keeseokan harinya, Rani menemui suaminya dan berkata “Pah, aku menyetujui perceraian kita, asalkan kau memenuhi satu syarat dariku”. “Apa?. Jawab Rudi. “Aku mau, kau menggendong aku setiap paginya, dari kamar tidur ke halaman depan rumah, setelah syarat itu kau penuhi, aku akan menandatangani surat perceraian kita”, pinta Rani. Rudipun akhirnya menyetujui kesepakatan itu.

Hari pertama Rudi menggendong istrinya dari kamar tidur sampai ke halaman rumah, terasa biasa saja. Rudi hanya terdiam saat Rani memeluknya dengan erat. Begitu setiap harinya, Rudi menggendong dan Rani memeluknya dengan erat.

Sampai pada hari terakhir satu bulan perjanjian. Rudi dengan gontai duduk di kursi kerjanya. Rudi merasa ada yang berbeda. Hatinya mulai galau, pikirannya melayang pada kenangan masa lalu, diawal pernikahan mereka. Kebiasaan Rudi, yang selalu menggendong istrinya saat pagi hari, dan memanjakan istrinya, kini memori  tersebut mulai muncul. Tapi, ada yang berbeda dengan gendongan saat ini yaitu tubuh istrinya terasa lebih ringan, ringan sekali, tak seperti dulu, sangat berbeda.

Rudi mulai menangis, menitikkan air matanya. Besok, wanita yang selama ini mendampinginya dengan setia akan diceraikannya. Rudi terhentak seketika, merasa bersalah teramat dalam, mendustai janji suci mereka, memberikan sebagian hatinya untuk wanita lain, melakukan hubungan terlarang, dan hendak membuang kenangan indah bersama istrinya. 

Rudi langsung meraih telepon genggamnya, mencari nomor telepon salah satu dokter keluarganya. “Pagi, Ibu dokter, ini Rudi, maaf mengganggu, bisakah saya bicara sebentar dengan Ibu?”. Tanpa disadari telepon genggam Rudi jatuh seketika setelah mendengar penjelasan dari dokter.

Perasaan menyesal teramat dalam mulai menghantui dirinya. Apa yang dia lakukan selama ini adalah dosa besar, dan mungkin tak akan terampuni. Bergegas Rudi mengambil kembali telepon genggamnya, dan berbicara “maaf aku enggak akan menikahimu karena aku sangat mencintai istriku”. Tanpa pikir panjang, Rudi mengambil kunci mobilnya, dan menuju rumah untuk menemui istrinya.

“Mah, mah, mah, bangun mah, mah bangun, mah bangun, jangan tinggalkan papah”, Rudi berteriak sekencang mungkin mendapati istrinya terbujur kaku disamping bayi mereka.

The end.


#katahatiproduction
#katahatichallenge

Salam,

Comments