Parfum Jengkol

Kiri Bang … Kiri Bang!

Aku turun tepat di depan Pos Polisi dekat Stasiun Bekasi. Hari ini adalah Kamis. Biasanya hari Kamis, identik sama yang manis-manis. Semanis senyumanku saat menunggu angkutan umum.

Suasana Kamis pagi cukup padat. Tak seperti biasanya. Kendaraan yang lalu lalang memadati sisi kanan dan kiri alun-alun Kota Bekasi.

“Pagi, Neng. Mozza belum datang,” ucap Pak Ogah yang tiap hari mangkal di depan pos polisi.

“Pagi, Pak,” balasku sambil menuju trotoar.

Pak Ogah itu memang tahu. Kalau aku adalah penumpang Rahmawati Mozza, jadi ia tidak pernah menawarkan elf lain. Karena  aku pasti tidak akan menaikinya.

Setelah berdiri hampir lima menit. Aku terperangah oleh tingkah laku Pak Polisi. Selain sibuk mengatur lalu lintas. Dia dan temannya sibuk pula berswafoto. Berbagai gaya mengatur lalu lintas didokumentasikannya dalam kamera telepon genggam. Mungkin sebagai laporan hariannya kepada atasan.

Cekrek … cekrek!

Ah, pemandangan yang langka nih. Jarang sekali melihat Pak Polisi bergaya-gaya di jalan raya.

“Neng, Mozza sudah di depan Optik,” suara Pak Ogah membuyarkan fokusku.

“Oh, ya, Pak.”

***

Aku duduk tepat di belakang Pak Sopir. Ia berbaju batik. Entahlah itu motif apa, yang pasti, untuk yang pertama kalinya melihat sopir berbaju kemeja batik. Necis banget bak Pak Lurah. Rupanya Pak Sopir cinta dengan kekayaan budaya Indonesia, atau mungkin kaos-kaos yang biasa dipakainya belum dicuci istrinya *duh.

Penumpang lain juga menempatkan diri seperti biasanya. Duduk pada posisinya masing-masing. Kami memang termasuk penumpang yang terbilang tertib. Akan tetapi, tiga orang penumpang yang sudah menjadi langganan, tak tampak batang hidungnya.

Pagi itu, tak kulihat penumpang berbadan besar yang biasa duduk di depanku. Dia mungkin sedang izin dari tempat kerjanya atau naik kendaraan lain, sehingga absen dari Mozza.

Pikiranku tentang penumpang tambun tersebut, buyar seketika, saat Mozza melaju dengan kencangnya.

Buss … buss … buss!

Rahmawati Mozza keren sekali. Lajunya bak kilat. Hanya lampu merah yang dapat menghentikan lajunya. 

Hari ini, ia sukses melewati lampu merah pertama di pasar proyek Bekasi. Saat memasuki pasar baru, ia berhenti, karena lampu merah kedua menghadang dengan gagahnya.

“Hati-hati, Bu,” suara Pak Sopir kepada wanita setengah baya, saat memasuki mobil di sela-sela lampu merah.

“Ya, makasih. Sudah sepuh, harus pelan-pelan. Sabar, ya, sopir,” sahut wanita tersebut tersengal-sengal.

Wanita sepuh tersebut duduk di bagian belakang. Jangan biarkan ia duduk di bagian depan, apalagi dekat pintu. Duh, bisa dibayangkan. Kalau si Mozza mengerem mendadak, bisa-bisa tubuh mungil wanita tersebut nyungsep di trotoar.

Buss … buss … buss!

Lampu merah sudah berubah jadi hijau. Mozza menancap gas.

Baru beberapa detik gas ditancap.

Iiik … !

Angkot tersebut mengerem mendadak. Tuh, benar, kan. Si wanita separuh baya tadi terkaget-kaget, sambil komat kamit.

Mozza berhenti di depan lapangan Serba Guna Terminal Bekasi.

“Pagi, Pak Sopir,” tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.

Seorang Bapak bertopi hitam dengan hidung mancung ke dalam, masuk menaiki Mozza. Ia menggunakan sepatu boots dan membawa karung. Bapak tersebut duduk percis di hadapanku. Posisi penumpang berbadan besar yang absen hari ini, digantikannya.

Uwek!

Perutku tiba-tiba mual. Isi karung tersebut mengeluarkan aroma yang sangat menyengat, menembus hidung sampai ke perut. Otakku mulai berpikir.

Bau apa ini? Rasanya tak asing dengan aroma ini? Oh, ya. Ini kan bau semerbak jengkol. Ya Gusti, pagi-pagi sudah dapat semperotan parfum jengkol. 

Kepalaku mulai fly.

“Maaf, Pak. Kalau boleh tahu isi karungnya apa, ya?” tanya seorang ibu berbaju biru di samping kiriku.

“Jengkol, Bu. Baru panen kemarin. Tua-tua banget nih jengkol. Pulen banget kalau di goreng. Bagus-bagus, nih, Bu.” Promosinya kepada si ibu berbaju biru.

“Pantesan baunya nyengat banget, ya, Pak,” balas Ibu tersebut dengan wajah sinis.

“Namanya juga jengkol, Bu. Ya, seperti ini baunya. Kalau wangi mah, namanya parfum, ya, ” timpalnya kembali.

Ibu berbaju biru makin keki. Tak mau menanggapi ocehan tukang jengkol itu. Akhirnya, dia pasrah dengan diam.

Aku pun hanya diam membisu. Tak ingin ikut dalam percakapan itu. Masalahnya mulutku seperti terkunci, tak bisa bicara, dampak dari parfum jengkol ini.

Kuambil minyak kayu putih di dalam tas ransel. Kuoleskan berkali-kali pada tisu. Semoga bau minyak kayu putih akan mengalahkan parfum jengkol ini.

Buss … buss … buss!

Semakin kencang laju Mozza. Parfum jengkol tersebut, semakin menyeruak ke segala arah. Minyak kayu putih kuoleskan kembali. Kali ini tidak usah pakai tisu, langsung dioles ke hidungku. Panas sih rasanya, tapi mau bagaimana lagi.

Tak lupa, kusiapkan kantong kresek plastik di tangan kiri. Siapa tahu, tiba-tiba aku muntah. Nah, wadahnya sudah tersedia. Sedia payung sebelum hujan.

Kiri Bang!

Seorang laki-laki yang duduk di bagian belakang, turun di depan sebuah perusahaan boneka.

“Makasih, Pak,” ucap laki-laki tersebut sambil menyerahkan ongkos.

Tanpa pikir panjang. Aku segera menuju ke belakang. Agak tergopoh-gopoh, menggantikan posisi laki-laki tersebut. Posisi ini memang sudah kuincar sejak tadi. Karena aku tahu, laki-laki tersebut  pasti turun di perusahan boneka, mungkin ia bekerja di sana.

Beruntung! Bau jengkolnya tidak terlalu tercium jika duduk di belakang. Akhirnya, aku bisa sedikit bernafas lega. Minyak kayu putih masih setia memaniku, walau sudah agak jauh dari sumber jengkol.

“Pasar Tambun abis, Pasar Tambun,” teriak Pak Sopir.

Bapak bertopi hitam yang membawa sekarung jengkol, ternyata turun di Pasar Tambun. Mungkin ia salah satu penjual jengkol di pasar tradisional itu.

Senyum tersungging, terpancar dari wajah semua penumpang, termasuk aku. Sejak tadi, aku berdoa. Semoga Bapak penjual jengkol itu segera turun dari angkot. Katanya, doa orang terzalimi akan makbul. Makanya, doaku tak henti-hentinya terucap.

“Makasih, Pak. Maaf, ya, angkotnya jadi bau jengkol,” ucapnya sambil tertawa lepas.

Sopir Mozza, hanya membalas dengan senyuman. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.

“Pak Sopir, lain kali kalau Bapak yang bawa jengkol itu mau naik, enggak usah berhenti. Mual cium bau jengkol pagi-pagi. Saya mau muntah, nih.” Ibu berbaju biru bersuara dengan kerasnya, wajahnya yang putih terlihat memerah.

"Pagi-pagi udah disemprot parfum jengkol. Tobat-tobat," suara samar terdengar dari kursi tengah.

“Iya, Bu,” suara kalem Pak Sopir menjawab dengan cepat.

Jengkol telah sampai pada tujuannya, Pasar tambun. Tapi, baunya masih menemaniku sampai Kampung Utan.

“Kampung Utan abis ... Kampung Utan.”

Suara Pak Sopir menyadarkan pikiranku. Sempat fly gara-gara bau jengkol yang menemani sepanjang perjalanan pagi ini.

Kuserahkan ongkos padanya, seraya mengucapkan terimakasih.

Setelah menyebrang jalan. Aku menepi, menuju sebuah apotik 24 jam.

“Maaf, Bu. Ada obat sakit kepala enggak,” tanyaku.

“Sakit kepala karena apa Mbak?” balasnya bertanya.

“Sakit kepala karena mencium bau jengkol, Bu,” jawabku kembali.

Perempuan tersebut tak memberikan respon atas jawabanku. Wajahnya berubah, seperti orang yang mendapatkan grand prize sebuah rumah mewah. Ia terlihat menahan tawa.


Photo by Putra Jaya

Comments

  1. Hihi, katanya kl jengkol bisa menepis jengkel dan pete bisa melenyapkan bete, problem dunia cm masalah sebatas masalah bau aja Mbak Salbiah

    ReplyDelete
    Replies
    1. -Betul Mbak, itu kalau dimakan. wenak tenan. Ini mah nyium baunya doank, jengkol mentah, apalagi pagi-pagi nyiumnya, makasih deh. he

      Delete
  2. Sensitif sama bau jengkol berarti ya, Mbak hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau jengkol mentah, ya Mbak. kalau jengkol mateng enak dimakan jadi enggak sensitif. Hidup jengkol.. he

      Delete
  3. Jengkol oh jengkol ... Kalau saya langsung turun, kayaknya hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya kepaksa Mbak, habisnya memang naik angkotnya itu terus, enggak mau yang lain *eh.

      Delete
  4. Saya belum bisa menikmati makan jengkol Bun. Tapi denger-denger bisa lo, masaknya jadi enggak bau itu jengkol

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wuih jengkol ini enak. Iya emang bisa Mbak.

      Delete
  5. Ya ampun seru Mbak pengalamannya. Haha. Tiba2 ada bau jengkol menyeruak. Saya bukan penggemar jengkol tak suka makan dan tak suka baunya

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, pengalaman selama di angkot, begitulah ... saya sebaliknya Mbak, kalau jengkol sudah matang, suka, he

    ReplyDelete
  7. Hihi kocak banget pengalamannya mba... Begitulah ya lika liku angkoters...

    ReplyDelete
  8. Iyes Mbak. Begitulah kekocakan angkoters.

    ReplyDelete

Post a Comment