Cara Praktis Pengendalian Kecoa di Lingkungan Perumahan
Salbiah*, Dede Risanda, Intan Wiji Ekawati, Yusnanto
Dwi Nurcahyo, Dede Suryadi
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
*Korespondensi. Email :bombyx_mori08@yahoo.com
ABSTRAK
Kecoa
dapat berasosiasi dengan berbagai patogen seperti
bakteri, cendawan, protozoa, dan virus. Kecoa juga dapat menimbulkan alergi
pada manusia. Bertolak dari permasalahan yang ditimbulkan maka diperlukan
pengembangan metode pengendalian kecoa yang memadukan antara cara aplikasi dan
formulasi umpan beracun sehingga dapat meminimalisir risiko yang ditimbulkan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah membuat suatu pengembangan metode pengendalian
kecoa sehingga didapatkan pengendalian yang tepat, efisien, dan ramah
lingkungan. Pada pengujian perangkap di lingkungan perumahan, perangkap yang di
ujikan merupakan perangkap yang sudah terbukti efektif memerangkap kecoa pada
pengujian di arena pengujian. Perangkap tersebut di letakkan pada ruang-ruang
dalam rumah yaitu sekitar kamar mandi, dapur, dan ruang makan. Pengamatan
terhadap perangkap tersebut dilakukan setelah 24 jam kemudian dihitung jumlah
kecoa yang terperangkap dan mati dalam perangkap. Perangkap yang paling banyak
ditemukan kecoa yang mati diasumsikan merupakan perangkap yang paling efektif
untuk mengendalikan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari tiga
lokasi pengamatan yang diujikan, ternyata lokasi pengamatan yang paling banyak
memerangkap kecoa adalah dikamar mandi (Gambar 17). Pada lokasi kamar mandi,
kecoa yang terperangkap berjumlah 10 ekor, sedangkan dapur dan ruan makan
jumlah kecoa yang terperangkap sebanyak 5 dan 3 ekor. Hal ini disebabkan pada
kamar mandi suhu dan kelembabannya sesuai untuk habitat kecoa yaitu berkisar
antara oC dan %. Jumlah kecoa yang terperangkap pada perangkap
ternyata sesuai dengan jumlah kecoa yang terperangkap pada pendugaan populasi
kecoa dengan sticky trap yaitu sebanyak 7 ekor kecoa. Oleh sebab itu, perangkap
ini dapat dikatakan efektif untuk memerangkap kecoa. Spesies kecoa yang ditemukan di tiga puluh rumah
tinggal adalah P. americana. Pada pengujian preferensi umpan didapatkan bahwa
selai kacang tanah merupakan selai yang paling dipilih kecoa baik pengujian di
rumah maupun di laboratorium. Pada pengujian toksisitas insektisida didapatkan
bahwa mortalitas P. americana
tertinggi disebabkan dari ekstrak A.
squamosa dengan konsentrasi 1%. Sedangkan pada pengujian keefektifan
perangkap di arena pengujian, jenis bahan perangkap yang paling di pilih kecoa
adalah jenis bahan dari stirofom yang dikombinasikan dengan umpan yang
berinsektisida dan di beri lem tikus.
PENDAHULUAN
Banyak
orang beranggapan bahwa kecoa merupakan serangga yang menjijikan karena sering berasosiasi dengan sanitasi yang buruk
dan standar hidup yang rendah. Kecoa sering mengkontaminasi bahan-bahan makanan
dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Kerusakan pada bahan makanan lebih
disebabkan oleh kontaminasi yang ditimbulkannya dari pada susut karena di
konsumsi.
Kecoa dilaporkan
dapat berasosiasi dengan berbagai patogen seperti bakteri, cendawan, protozoa,
dan virus. Kecoa juga dapat menimbulkan alergi pada manusia. Alergi ini
disebabkan oleh eksuvia, feses, hemolimfa, dan enzim pencernaan yang dikeluarkan kecoa. Selain itu, feses kecoa merupakan perangsang asma yang
paling kuat. Alergi pada anak-anak yang berpenyakit asma sensivitasnya dapat
mencapai 79% (Bell & Adiyodi 1982).
Berbagai upaya
pengendalian kecoa terus dilakukan dan dikembangkan. Pengendalian kecoa
di lingkungan permukiman dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti sanitasi
lingkungan rumah, penggunaan perangkap berperekat, penyemprotan, dan
pengasapan. Akan tetapi cara-cara pengendalian ini banyak menimbulkan dampak
negatif.
Sanitasi lingkungan rumah harus dilakukan secara berkala dan
memerlukan konsistensi dari penghuni rumah. Hal inilah yang sering diabaikan,
pengabaian ini karena banyak faktor, salah satunya adalah padatnya aktivitas di
luar rumah. Untuk mengatasi hal ini, orang lebih banyak melakukan aplikasi insektisida
seperti penyemprotan dan pengasapan ke
tempat-tempat yang diduga menjadi tempat hidup kecoa.
Bertolak dari permasalahan yang ditimbulkan maka
diperlukan pengembangan metode pengendalian kecoa yang memadukan antara cara
aplikasi dan formulasi umpan beracun sehingga dapat meminimalisir risiko yang
ditimbulkan. Salah satu cara pengendalian kecoa yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan perangkap yang didalamnya terdapat formulasi umpan beracun.
Penggunaan perangkap diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti dari berbagai
cara aplikasi yang saat ini kurang tepat. Sedangkan insektisida yang digunakan
bisa berasal dari senyawa aktif tumbuhan
yang relatif aman terhadap manusia.
BAHAN
DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Lingkungan Perumahan di daerah
Darmaga Bogor, Laboratorium R&D
Syngenta Cikampek Kabupaten Karawang, Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga, dan ruang staf, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Sejak bulan Januari-Juni 2007.
Uji Preferensi Umpan
Preferensi kecoa terhadap umpan di rumah tinggal
Persiapan umpan
Setiap jenis umpan ditimbang seberat dua gram lalu
diletakkan pada kotak-kotak plastik yang telah dibagi menjadi enam kuadran.
Masing-masing kuadran berisi satu jenis umpan.
Penempatan umpan
Kotak-kotak umpan diletakkan di 30 rumah tinggal di
lingkungan perumahan di daerah Darmaga Bogor. Kriteria rumah tinggal yang
dijadikan lokasi penelitian adalah rumah
yang memiliki ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Pada masing-masing ruangan itu
diletakkan satu kotak umpan.
Pengamatan dilakukan setelah 24 jam kemudian kotak-kotak
umpan tersebut dibawa ke laboratorium untuk diamati jumlah umpan yang
dikonsumsinya. Jumlah umpan yang dikonsumsi dihitung berdasarkan selisih berat
kering awal dan berat kering akhir. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kesalahan perhitungan karena adanya penambahan kadar air pada umpan tersebut.
Penentuan berat kering dilakukan dengan cara memasukkan masing-masing jenis
umpan kedalam oven dengan suhu 105 oC selama dua jam.
Sesaat sebelum pengambilan kotak-kotak umpan dilakukan
pengukuran suhu dan kelembaban relatif pada masing-masing ruangan. Selain itu,
dilakukan juga penilaian kondisi sanitasi tiap ruangan. Penilaian kondisi
sanitasi dilakukan dengan menggunakan skor seperti pada tabel 1 :
Tabel 1 Skor tingkat sanitasi rumah tinggal dilokasi
pengamatan
Skor
|
Tingkat Sanitasi
|
1
|
Kotor
|
2
|
Sedang
|
3
|
Bersih
|
Pengamatan populasi kecoa
Pengamatan populasi kecoa ini dilakukan di masing-masing
lokasi pengamatan yakni ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Pengamatan
dilakukan dengan menggunakan sticky traps. Sticky traps adalah perangkap yang
terbuat dari kotak plastik yang di atasnya diolesi lem tikus sampai lem itu
membentuk alur segiempat yang jarak antar alurnya sekitar 3 cm. Pada bagian
tengah kotak plastik tersebut diletakkan susu bubuk sebanyak lima gram sebagai
umpan agar kecoa mendekat ke sticky traps. Pengamatan terhadap sticky traps
ini dilakukan setelah 24 jam. Pada tiap sticky
traps dihitung jumlah kecoa yang terperangkap kemudian diidentifikasi.
Preferensi kecoa terhadap umpan di laboratorium
Persiapan kecoa
Pemeliharaan kecoa dilakukan di Laboratorium R&D
Syngenta, Cikampek, selama satu bulan. Satu hari sebelum pengujian umpan,
dipilih lima pasang kecoa yang sudah menjadi imago kemudian diletakkan dalam
wadah plastik untuk dipuasakan.
Pengujian umpan
Masing-masing umpan ditimbang seberat dua gram kemudian
diletakkan pada arena pengujian. Arena pengujian adalah wadah plastik yang
berbentuk lingkaran dengan diameter 30 cm dan di dalamya dibagi menjadi enam
ruang. Sebelumnya ke dalam arena tersebut telah dimasukkan lima pasang kecoa
yang telah dipuasakan selama satu hari. Pengamatan dilakukan tiap 24 jam selama tiga hari dan pada setiap pengamatan
dilakukan penggantian umpan. Pengamatan ini dilakukan terhadap jenis umpan yang
paling dipilih.
Uji Toksisitas Insektisida
Persiapan insektisida
Insektisida yang digunakan adalah insektisida botani (ekstrak biji sri kaya, Annona
squamosa) dengan pembanding asam borat (boric
acid). Asam borat yang digunakan diencerkan dengan akuades dengan
perbandingan 1:1, sesuai anjuran yang tertera pada labelnya.
Biji srikaya yang telah dikupas kulitnya kemudian di
blender. Serbukya lalu direndam dengan metanol (1:10; w/v) dalam labu
erlenmeyer dan dikocok dengan menggunakan pengocok magnetik selama 48 jam.
Rendaman kemudian disaring dengan menggunakan corong buchner yang dialasi
dengan kertas saring. Filtrat hasil
penyaringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada tekanan
400-500 mmHg pada suhu 50 oC untuk mendapatkan ekstrak kasar.
Metanol hasil penguapan digunakan untuk membilas residu pada corong buchner.
Pembilasan ini dilakukan berulang kali hingga warna larutan ekstrak hasil
penyaringan terlihat jernih. Ekstrak yang diperoleh adalah ekstrak kasar.
Ekstrak setelah penguapan disimpan dalam lemari es pada
suhu 4 oC hingga saat digunakan. Ekstrak kasar yang dihasilkan untuk
pengujian diencerkan dengan metanol 1%. Ekstrak tersebut kemudian di ujikan untuk menentukan probitnya. Konsentrasi yang
digunakan adalah 0.125%, 0.25%, 0.5%, 1%.
Pengujian insektisida
Pengujian insektisida dilakukan dengan metode racun
perut. Selai kacang tanah ditimbang seberat 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam
kotak aluminium dan pada kotak aluminium tersebut dimasukkan masing-masing
insektisida lalu diletakkan kedalam
kotak pengujian yang telah berisi 10 ekor kecoa. Pada tiap perlakuan dilakukan
3 kali ulangan. Pengamatan dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan
(jsp). Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kecoa yang mati sehingga
diketahui insektisida mana yang paling efektif membunuh kecoa.
Formulasi umpan
Setelah
diketahui insektisida yang paling efektif untuk membunuh kecoa maka dibuat
formulasi umpannya.
Formulasi umpan ini dibuat dengan memadukan antara selai kacangtanah,
insektisida dan bahan tambahannya. Pada pengujian ini bahan tambahannya berupa
tepung kacangtanah dan tepung terigu.
Formulasi pertama mencampurkan antara selai kacangtanah,
insektisida, dan tepung terigu sampai tercampur rata (A). Formulasi kedua
mencampurkan antara selai kacang tanah dan insektisida kemudian ditaburi tepung
terigu diatasnya (B). Formulasi ketiga mencampurkan antara selai kacangtanah,
insektisida, dan tepung kacang tanah sampai tercampur rata (C). Formulasi keempat
mencampurkan antara selai kacang tanah dan insektisida kemudian ditaburi tepung
kacangtanah diatasnya (D). Selain itu, di ujikan pula selai kacangtanah yang
hanya di campurkan dengan insektisida tanpa ditambahkan bahan tambahan lain
(E). Sedangkan sebagai pembanding diujikan gel bait “estapet gel” yang sudah dijual
komersil (F). Masing-masing
formulasi dibentuk hingga menyerupai pelet, kemudian formulasi tersebut diletakkan dalam kotak
pengujian yang didalamya telah berisi 10 ekor kecoa. Pengamatan dilakukan pada
tiap 24 jam setelah perlakuan selama tiga hari. Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah umpan yang dikonsumsi dan mortalitasnya sehingga diketahui
formulasi umpan mana yang paling disukai kecoa dan efektif untuk membunuhnya.
Uji Keefektifan Perangkap
Persiapan perangkap
Pengujian keefektifan perangkap menggunakan tiga macam
bahan yaitu stirofom, plastik, dan kertas. Tiga macam bahan perangkap tersebut
berbentuk segi empat. Selanjutnya pada tiga macam bahan tersebut di lakukan
pengujian kefektifan pintu. Pertama bahan perangkap ini dibuat satu pintu, lalu pengujian selanjutnya
dibuat dua pintu, tiga pintu, empat pintu, sampai lima pintu. Pada saat
pengujian ini, tiap-tiap perangkap yang telah diberi pintu dibagian dalamnya
diolesi selai kacangtanah yang telah dicampur dengan insektisida dan di
kelilingi lem tikus. Pengamatan ini dilakukan selama 24 jam untuk mengetahui perangkap dengan pintu
berapa yang efektif memerangkap kecoa.
Persiapan arena pengujian
Arena
pengujian dibuat dengan menyusun kardus-kardus sehingga membentuk segi empat
dan arena pengujian ini di tutup dengan kain. Luasan arenanya berkisar 1x1 m.
Arena ini dibuat sebanyak tiga kali ulangan. Pengamatan terhadap pengujian di
arena ini dilakukan selama 24, 48, dan 72 jam. Pengamatan dilakukan terhadap
perangkap yang paling banyak memerangkap kecoa.
Pengujian perangkap di arena pengujian
Perangkap-perangkap di letakkan dalam arena pengujian
yang berbentuk segiempat di masing-masing sudutnya. Pada arena pengujian
tersebut di tengahnya di letakkan kotak mika yang berisikan air dan kapas
sebagai tempat minum kecoa. Pengamatan terhadap perangkap tersebut dilakukan
selama 24, 48, dan 72 jam. Kemudian dihitung jumlah kecoa yang terperangkap dan
mati dalam perangkap. Perangkap yang paling banyak ditemukan kecoa yang terperangkap dan mati
diasumsikan merupakan perangkap yang paling efektif untuk mengendalikan. Selain
itu, sebagai pembanding di letakkan pula perangkap yang sudah di jual komersil
di pasaran.
Pengujian perangkap di lingkungan perumahan
Pada pengujian perangkap di lingkungan perumahan, perangkap
yang di ujikan merupakan perangkap yang sudah terbukti efektif memerangkap
kecoa pada pengujian di arena pengujian. Perangkap tersebut di letakkan pada
ruang-ruang dalam rumah yaitu sekitar kamar mandi, dapur, dan ruang makan.
Pengamatan terhadap perangkap tersebut dilakukan setelah 24 jam kemudian
dihitung jumlah kecoa yang terperangkap dan mati dalam perangkap. Perangkap
yang paling banyak ditemukan kecoa yang mati diasumsikan merupakan perangkap
yang paling efektif untuk mengendalikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Preferensi Umpan
Preferensi Kecoa terhadap Umpan di Rumah Tinggal
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa selai kacang tanah adalah umpan yang paling
dipilih oleh kecoa (Gambar 9). Beberapa
faktor yang menyebabkan kecoa lebih memilih selai kacang tanah, diantaranya
karena kandungan protein selai kacang tanah lebih tinggi. Menurut Departemen
Kesehatan (1964) kacang tanah adalah sumber protein nabati penting yaitu 25,3%.
Selain itu, Kells et al. (1998) menyatakan bahwa kecoa yang hidup di
dapur ternyata konsumsi akan protein dan karbohidrat lebih rendah daripada
kecoa yang dipelihara di laboratorium, akan tetapi konsumsi terhadap lemaknya
tinggi. Hal ini disebabkan rendahnya ketersediaan protein dan karbohidrat di
rumah sedangkan ketersediaan lemaknya tinggi. Oleh sebab itu, karena kecoa
menyukai protein dan ketersedian protein di lokasi pengamatan rendah maka kecoa lebih memilih selai kacang tanah
dibandingkan jenis umpan lainnya.
Selai kacang tanah juga mempunyai aroma yang lebih
menyengat dibandingkan jenis umpan lainnya, dengan adanya aroma tersebut
tampaknya kecoa lebih tertarik ke selai kacang tanah. Aroma yang menyengat tersebut
disebabkan tingginya kandungan minyak nabati pada kacang tanah. Sediaoetama
(2000) menyatakan bahwa kadar minyak nabati kacang tanah sebesar 42,8%. EHW (2005) menyatakan bahwa pada saat
pengumpanan, umpan tidak akan bekerja jika di sekitar daerah pengumpanan ada
bau lain yang lebih menyengat. Oleh sebab itu, dapat diketahui bahwa kecoa
lebih memilih makanan yang mempunyai bau yang menyengat seperti selai kacang
tanah.
Selain itu, pada selai kacang tanah yang diujikan
ternyata mengandung pengemulsi sedangkan jenis umpan lainnya tidak mengandung
pengemulsi. Fungsi pengemulsi adalah menyatukan
bahan-bahan yang secara fisik sulit bersatu seperti minyak dan air sehingga
makanan menjadi renyah dan gurih. Mungkin karena adanya pengemulsi itu maka
kecoa lebih memilih selai kacang tanah.

Gambar 1. Preferensi kecoa terhadap umpan di rumah
tinggal.
Pada suatu habitat, serangga-serangga tidak hanya
hidup pada populasinya sendiri tetapi juga berinteraksi dengan populasi
serangga yang lainnya. Pada saat pengamatan ditemukan semut di kotak umpan,
kemungkinan semut juga ikut memakan umpan yang berada di kotak umpan
tersebut. Dengan ditemukannya semut pada
kotak umpan maka perlu diperhitungkan keberadaannya agar tidak terlalu
mempengaruhi data yang dihasilkan.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa keanekaragaman genus
semut tertinggi ditemukan di ruang makan (Tabel 2). Hal ini mungkin saja
terjadi karena
habitat semut berbeda-beda dan keberadaannya pada suatu habitat sangat
dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Berdasarkan pengukuran, suhu di ruang
makan adalah 28 oC dengan kelembaban 86%. Kemungkinan suhu dan kelembaban
tersebut sesuai untuk aktivitas banyak genus semut sehingga keanekaragaman
genus semut banyak ditemukan di ruang makan.
Hasil penelitian
Zulkarnain (2006) menunjukkan bahwa kisaran suhu yang sesuai dengan
aktivitas semut adalah 28-30 oC dengan kelembaban udara > 40%. Menurut Warner & Scheffrahn
(2003), aktivitas semut Paratrechina
pubens Forel, meningkat pada suhu 28 oC dan berkurang pada suhu
dibawah 20 0C. Menurut
Human et al. (1998), semut berkurang aktivitasnya pada kelembaban dibawah 40% dan
akan meningkat aktivitasnya jika kelembabanya lebih tinggi dari 40%.
Tabel 2 Genus
semut yang ditemukan mendatangi lokasi pengamatan
Lokasi
|
Genus Semut
|
Kamar Mandi
|
Tetramorium, Anoplolepis, Paratrechina, Tapinoma.
|
Ruang Makan
|
Anoplolepis,
Pheidole, Paratrechina, Tapinoma, Tetramorium, dan Camponotus.
|
Dapur
|
Paratrechina,
Tapinoma, dan Tetramorium.
|
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semut paling banyak
ditemukan di dapur (Gambar 10). Ada kemungkinan ini terjadi, karena di dapur
sisa-sisa makanan yang berceceran lebih banyak dibandingkan di kamar mandi dan
ruang makan. Diketahui bahwa semakin banyak sampah sisa makanan yang tidak
dibersihkan di dalam rumah maka akan semakin banyak jumlah semut yang
ditemukan.
Hasil penelitian Zulkarnain (2006) menunjukkan bahwa di dapur lebih banyak dikunjungi semut
dibandingkan ruang makan, ruang tamu, dan beranda. Akan tetapi, karena rata-rata jumlah
semut yang mendatangi lokasi pengamatan sedikit maka dapat dipastikan bahwa
umpan paling banyak dikonsumsi oleh kecoa. Ini terlihat pula dari laju konsumsi
semut yang rendah maka walaupun ditemukan semut di kotak umpan diperkirakan hal
ini tidak terlalu mempengaruhi. Menurut Holldobler & Wilson (1990) laju
konsumsi semut sekitar 14,5% dari berat badan tubuhnya.

Gambar 10 Rataan
jumlah semut yang ditemukan ditiga lokasi pengamatan.
Identifikasi Kecoa
Identifikasi
kecoa dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi yang terdapat dalam
tulisan Benson & Zungoli
(1997). Kecoa yang terperangkap sebanyak 401 ekor, baik yang berupa nimfa maupun
imago. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa imago kecoa ini memiliki ciri-ciri
seperti panjang tubuhnya 3,7-4,1 cm dan berwarna coklat kemerahan. Nimfa yang
ditemukan berwarna coklat muda, sedangkan ootekanya tidak ditemukan. Pada identifikasi ini, kecoa yang teridentifikasi
hanya jenis kecoa amerika (P. americana).
Preferensi Periplaneta americana terhadap Umpan di Laboratorium
Dalam uji preferensi umpan di laboratorium didapatkan
bahwa selai kacang
tanah adalah jenis umpan yang paling dipilih oleh kecoa (Gambar 11). Ini
disebabkan beberapa faktor diantaranya karena selai kacang tanah mengandung
protein yang tinggi dan memiliki bau yang lebih menyengat.
Diperkirakan pula karena makanan yang ditemukan pertama
kali adalah selai kacang tanah maka kecoa akan langsung memakannya karena
diketahui kecoa akan langsung memakan makanan yang pertama kali mereka jumpai.
EHW (2005) menyatakan bahwa umpan diletakkan di tempat-tempat yang biasa
dilalui kecoa dan kecoa akan memakan makanan pertama yang mereka temukan.

Gambar 11 Preferensi P. americana terhadap umpan di laboratorium.
Uji Toksisitas
Insektisida
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa A. squamosa (srikaya) menyebabkan
mortalitas P. americana lebih
tinggi dibandingkan asam borat (Gambar 12). Dari gambar terlihat bahwa pada pengamatan
48 jam setelah pengamatan (jsp), efek
dari toksisitas A. squamosa telah
menyebabkan mortalitas P. americana mencapai 100%. Hal ini disebabkan A. squamosa
mengandung senyawa-senyawa bioaktif
yang dikenal dengan nama asetogenin. Dari bijinya terdapat senyawa aktif
yaitu squamosin dan asimisin. Kedua senyawa tersebut bekerja sebagai racun
perut terhadap serangga. Kardinan (2001)
menyatakan bahwa kandungan bahan aktif biji srikaya
mengandung 42-45% lemak, annonain, dan resin yang bekerja sebagai racun perut dan
racun kontak terhadap serangga.
Berkaitan
dengan sifat insektisidanya, squamosin dan asimisin yang termasuk dalam
golongan asetogenin selain dapat menghambat perkembangan serangga juga dapat
mematikan beberapa spesies serangga lain seperti Plutella xylostella. Ekstrak A. squamosa pada konsentrasi 0.1-0.5%
diketahui dapat mematikan larva Crocidolomia
pavonana sebesar 100% (Dadang 1999).

Gambar 12
Perkembangan mortalitas P. americana yang di perlakukan
ekstrak A. squamosa dan asam borat.
Hasil pengujian empat konsentrasi yang digunakan
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 1% A. squamosa memiliki aktivitas insektisida yang kuat
terhadap mortalitas P. americana dibandingkan
tiga konsentrasi lainnya (Gambar 13).
Pada 48 jsp saja konsentrasi 1% telah menyebabkan mortalitas P. americana sebesar 100%. Dari hasil ini terlihat pula bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak
biji A. squamosa yang digunakan, maka
semakin besar persentase mortalitas P. americana. Hal ini dapat disebabkan semakin besar
konsentrasi maka akan semakin pekat larutan insektisidanya sehingga senyawa
insektisida yang masuk makin kuat sifat toksisitasnya, oleh sebab itu menyebabkan
kematian lebih cepat dan tinggi.

Gambar 13 Perkembangan
mortalitas P. americana yang di
perlakukan
ekstrak
A. squamosa pada berbagai
konsentrasi.
Pengujian formulasi umpan yang menunjukkan jumlah umpan
yang paling banyak di konsumsi kecoa dan mortalitasnya mencapai 100% didapatkan
dari tiga jenis formulasi umpan, yaitu formulasi umpan yang mencampurkan antara selai kacangtanah,
insektisida, dan tepung kacang tanah sampai tercampur rata (C), formulasi yang mencampurkan antara selai kacang tanah
dan insektisida kemudian ditaburi tepung kacangtanah diatasnya (D), dan
campuran antara selai kacangtanah dengan insektisida tanpa ditambahkan bahan
tambahan lain (E) (Gambar 14).
Pada jenis formulasi umpan C, D, E jumlah umpan yang di konsumsi kecoa mencapai
0,5 gram dan mortalitasnya mencapai
100%. Hal ini disebabkan ketiga formulasi tersebut memiliki aroma yang lebih
menyengat karena mengandung minyak nabatinya lebih banyak, ini terjadi karena bahan
tambahan formulasi tersebut adalah tepung kacang tanah yang telah diketahui
mengandung minyak nabati yang cukup tinggi dan diketahui pula kecoa menyukai
bau yang menyengat sehingga kecoa lebih tertarik ke ketiga jenis formulasi
umpan tersebut dibandingkan formulasi umpan lainnya. Sediaoetama (2000) menyatakan
bahwa kadar minyak nabati kacang tanah sebesar 42,8%.

Gambar 14 Tingkat konsumsi dan mortalitas kecoa pada
berbagai jenis formulasi
umpan.
Uji Keefektifan
Perangkap di Arena Pengujian
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
dari perangkap yang diujikan dengan berbagai jumlah pintu, ternyata jumlah
pintu yang paling efektif untuk memerangkap kecoa adalah perangkap dengan
jumlah pintu tiga (Gambar 15). Pada saat perangkap memiliki satu pintu jumlah
kecoa yang terperangkap sangat sedikit dan saat ditambahkan jumlah pintunya
menjadi dua maka jumlah kecoa yang terperangkap bertambah begitu pula saat ditambahkan jumlah pintunya menjadi tiga maka kecoa
semakin banyak yang terperangkap. Akan tetapi, saat ditambahkan jumlah pintunya
menjadi empat dan lima ternyata kecoa yang terperangkap jumlahnya tidak terlalu
jauh berbeda dengan perangkap yang jumlah pintunya tiga. Dari sini diketahui
bahwa penambahan pintu mengakibatkan jumlah kecoa yang terperangkap makin
banyak. Hal ini disebabkan akses yang dimiliki kecoa untuk masuk dalam
perangkap lebih banyak.
Pada pengujian ini terlihat
pula bahwa perangkap dari bahan stirofom lebih banyak memerangkap kecoa
dibandingkan perangkap dari bahan lainnya. Perangkap dari bahan stirofom dapat
memerangkap 70% kecoa. Hal ini disebabkan karena bahan stirofom dianggap nyaman
oleh kecoa sebagai habitatnya maka kecoa lebih memilih perangkap dari bahan
stirofom. Pada dasarnya jenis bahan apapun tidak menjadi masalah karena yang
terpenting adalah tingkat kenyamanan dari kecoa tersebut, kalau suatu habitat sudah dianggap nyaman oleh kecoa
tersebut maka akan suka tinggal di situ.
Dari tahap pengujian ini terlihat
pula bahwa pada perangkap stirofom, setelah
kecoa masuk perangkap maka kecoa tidak dapat keluar lagi sedangkan pada
perangkap kertas, setelah kecoa masuk perangkap
maka kecoa masih bisa keluar dari perangkap. Hal ini disebabkan bahan stirofom
cukup kuat sehingga saat kecoa mendorong dari dalam maka pintu tidak terbuka.

Gambar 15
Rataan kecoa yang terperangkap pada berbagai jumlah pintu.
Hasil pengujian tahap selanjutnya yang menggunakan
perangkap dengan tiga pintu dengan menggunakan insektisida dan diberi lem tikus
menunjukan bahwa perangkap dari bahan
stirofom tetap lebih banyak memerangkap kecoa dibandingkan perangkap dari bahan
lainnya (Gambar 16). Perangkap dari bahan stirofom dapat memerangkap 80% kecoa
dan mortalitasnya mencapai 100%. Hal ini disebabkan karena bahan stirofom dianggap nyaman oleh kecoa sebagai habitatnya maka
kecoa lebih memilih perangkap dari bahan stirofom. Pada dasarnya jenis bahan
apapun tidak menjadi masalah karena yang terpenting adalah tingkat kenyamanan
dari kecoa tersebut, kalau suatu habitat sudah dianggap nyaman oleh kecoa
tersebut maka akan suka tinggal di situ. Keefektifan perangkap dilihat dari jumlah kecoa yang terperangkap dan mortalitasnya.
Pada pengujian ini dapat terlihat pula bahwa pada pengamatan24
jam kecoa 100% di dalam perangkap dan
perangkap tetap utuh. Pada pengamatan 48 jam kecoa 50% kecoa mati dan tidak
ada yang keluar dari perangkap. Sedangkan pada pengamatan 72 jam kecoa 100% mati dan
perangkap tetap utuh. Penambahan lem tikus cukup efektif untuk merekat kecoa
agar tetap di perangkap, sehingga kemungkinan kecoa mati karena terekat oleh
lem tikus cap gajah.

Gambar 16 Jumlah kecoa terperangkap dan mortalitasnya pada berbagai
bahan
perangkap.
Uji Keefektifan
Perangkap di Lingkungan Perumahan
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa dari tiga lokasi pengamatan yang diujikan, ternyata lokasi pengamatan
yang paling banyak memerangkap kecoa adalah dikamar mandi (Gambar 17). Pada
lokasi kamar mandi, kecoa yang terperangkap berjumlah 10 ekor, sedangkan dapur
dan ruan makan jumlah kecoa yang terperangkap sebanyak 5 dan 3 ekor. Hal ini disebabkan
pada kamar mandi suhu dan kelembabannya sesuai untuk habitat kecoa yaitu
berkisar antara oC dan %. Jumlah kecoa yang terperangkap pada
perangkap ternyata sesuai dengan jumlah kecoa yang terperangkap pada pendugaan
populasi kecoa dengan sticky trap yaitu sebanyak 7 ekor kecoa.
Oleh sebab itu, perangkap ini dapat dikatakan efektif untuk memerangkap kecoa.

Gambar 17 Jumlah kecoa terperangkap pada masing-masing lokasi
pengamatan
KESIMPULAN
DAN SARAN
Spesies kecoa yang ditemukan di tiga puluh rumah
tinggal adalah P. americana. Pada pengujian preferensi umpan didapatkan bahwa selai
kacang tanah merupakan selai yang paling dipilih kecoa baik pengujian di rumah
maupun di laboratorium. Pada pengujian toksisitas insektisida didapatkan bahwa
mortalitas P. americana tertinggi
disebabkan dari ekstrak A. squamosa
dengan konsentrasi 1%. Sedangkan pada pengujian keefektifan perangkap di arena
pengujian, jenis bahan perangkap yang paling di pilih kecoa adalah jenis bahan
dari stirofom yang dikombinasikan dengan umpan yang berinsektisida dan di beri
lem tikus. Perlu dilakukan pendugaan polulasi secara tepat dan
akurat sehingga pada pengujian keefektifan
perangkap dapat didapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat
dan Makanan. 2002. Kebijakan Pengawasan Pestisida Permukiman, dalam: Seminar
Pengendalian Hama Permukinan di Indonesia, Kamis 22 Agustus 2002 di Istana
Ballroom Hotel Salak Bogor. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Barbara KA. 2005. American cockroach. University of
Florida. Florida.
Bell WJ and Adiyodi
KG. 1981. The American Cockroach. London: Chapman & Hall.
Benson EP dan
Zungoli PA. 1997. Cockroach, pp 197-122, in D Moreland (ed.), Handbook of pest
control. GIE Media, Inc., Cleveland. USA.
Borror DJ et al. 1996. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi keenam. Partosoedjono S. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan
dari: Introduction of insect.
[CAHE.NMSU].
College of Agriculture and Home Economics New Mexico State University. 2006.
Cockroach and their control. New Mexico State University. http://www.cahe.nmsu.
edu/pubs/_g/g-310. html. [20 Februari 2006].
Cornwell PB. 1968. The
Cockroach Vol. 1, A Laboratory Insect and an Industrial Pest.
London: Hutchinson.
Dadang. 1998.
Botanical insecticides as an alternative pest control agent. Proceed.
Scientific writing contest III. Hiroshima. Japan.
Dadang. 1999.
Sumber Insektisida Botani. Dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting.
Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9-13
Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian
Bogor. Hlm 9-20.
Dahlan TN. 2005.
Pengembangan produk selai nanas dengan penambahan bakteri asam laktat
berpotensi probiotik. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Departemen
Kesehatan. 1964. Usaha Kesehatan Sekolah. Jakarta.
Departemen
Perindustrian. 1984. Mutu dan Cara Uji Lemak Coklat, SII No. 0926-84. Jakarta.
Departemen
Perindustrian. 1993. Syarat Mutu Biskuit
dan Cookies, No 01-2973-93.
Standar Nasional Indonesia. Jakarta.
Departemen
Perindustrian. 1995. Selai Buah Diet Diabetes, No 01-3700-95. Standar Nasional
Indonesia. Jakarta.
Departemen Perindustrian.
1999. Spesifikasi Persyaratan Susu Bubuk, No. 01-2970-99. Jakarta.
[EHW].
Environmental Health Watch. 2005.
Cockroach control guide. Enviromental Health Watch. http://www.ehw.org/Asthma/ASTH_cockroach-control
html. [18 Februari 2006].
Gaman PM dan Sherrington
KB. 1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikro Biologi.
Yogyakarta: universitas Gadjah Mada Press.
Hidayat P dan
Sosromarsono S. 2003. Pengantar Entomologi. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Holldobler B dan
Wilson EO. 1990. The Ants. Canada: Springer-Verlag.
Human KG et al.
1998. Effects of biotic factors on the distribution and activity of the
invasive argentine ant (Hymenoptera : Formicidae). Environmental
Entomology 27 (4): 822-833.
Kardinan A. 2001.
Pestisida Nabati. Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kells SA et al.
Estimasing nutritional status of German cockroaches, Blatella germanica (L.)
(Dictyoptera: Blatellidae), in the field. Journal of insect physiology 1999;
45:709-717.www.elsevier.com/locate/ibmbjip [15 Februari 2006].
Lyon WF. 2000.
American cockroach. http://ohioline.osu.edu/hyg-fact/2000/2096.html.
[1 Maret 2006].
Manjra AI et al.
2002. Cockroach allergy in Durban. http: //www.allergy.org. [2 Maret 2006].
Manik S.M. 2003.
Repelensi beberapa ekstrak tanaman terhadap Periplaneta americana. L.
(Dictyoptera: Blatellidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Matz SA. 1978.
Cookiest and cracker technology. Avi publishing, Westport, connecticut.
Mucthadi TR dan
Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
[PROSEA] Plant
Resources Of South-East Asia.
1999c. Spesies: Pandanus
amaryllifolius Roxb. In: de guzma C C and Siemonsma JS (editors). Bogor:
Plant Resources Of South-East Asia.
Regnault-Roger C.
1997. The potential of botanical essential oils for insect pest control. In:
Chapman & Hall (editors) IPM Rev. 2:25-26.
Rentokil Pest Control.
2004. Buku Panduan Basic Pest Control Training. Jakarta: PT. Rentokil
Indonesia.
Robinson WH. 1996. Urban
Entomology: insect and mite pest in the human environment. London: Chapman &
Hall.
Rust MK et al.
1999. Integrated Pest Management in and around the Home. California:
University of California.
Sediaoetama AD.
2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat.
Sigit SH et al.
2006. Hama Permukiman Indonesia. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama
Permukiman, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Stetson B. 2000. Periplaneta
americana. http://animal
diversity. Mmz. Umich. Edu. [3 Maret
2006].
[UNL]. University
of Nebraska-Lincoln. 2006. Pesticide Education Resources. http://pested.unl.edu/appenxd.htm.
[13 Februari 2006].
Warner J dan
Scheffrahn RH. 2003. Introduction, distribution, description, life cycle,
foraging and feeding, nest sites, pest status, management, selected, references.
http://creatures.ifas. ufl.edu/urban/ants/carribean_crazy_ant.htm.
[21 Februari 2007].
Winarno FG. 2001. Hama
Gudang dan Teknik Pemberantasannya. Bogor: M Brio Press.
Zulkarnain S. 2006.
Preferensi semut permukiman terhadap berbagai jenis umpan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Comments
Post a Comment