Tukang Tipu

Pagi yang begitu cerah. Matahari bersinar dengan sempurna. Aku yang sedikit berlari sejak dari gerbang rumah, semakin berlari saat tahu bahwa jam di dinding rumah telat setengah jam dari yang seharusnya.

Aku telaaaat …

Tanpa pikir panjang, kusambangi rumah keponakan yang berada tepat di depan tempat tinggalku. Saat sampai di halaman rumah, suara khas emak-emak langsung keluar dari mulut yang lebar ini.

“Assalamualaikum, Bang Pai … Bang Pai … Bang Pai.”

“Walaikumsalam, kenapa Cing?”

“Bang Pai, antarkan  Cing ke Stasiun Bekasi donk, Cing sudah telat.”

“Ok, Cing. Pai, ambil jaket dulu.”

Mengingat sudah sangat kesiangan. Aku menyuruh keponakanku untuk ngebut di jalanan.

“Ngebut aja Bang! Anggap aja lagi balapan di sirkuit. Harus menang, hadiahnya uang satu milyar!”

“Ok, Cing.”

Segenap kekuatan dikerahkan Bang Pai. Tak menyangka hanya dalam lima menit, motor kami sudah mendarat di Stasiun Bekasi. Ini pun pendaratan darurat, karena saat sampai tepat di depan rel kereta api, suara sirene dari Pos Kereta api berbunyi.

Ninung … ninung … ninung

Allahu Akbar … akhirnya, tambah telat! nungguin Si Komo lewat. Komo ... Komo ... Ya sudah, Pasrah!

***

“Makasih, Bang Pai.”

“Iya, Cing.”

Aku turun dari belalang tempurnya dengan lunglai. Beginilah rasanya pegawai teladan kesiangan. Kasihan sama Pak Polisi, biasanya dia sudah melihatku sejak pagi buta, hari ini sebaliknya.

Aku melangkahkan kaki ke trotoar, kepingin selonjoran tapi kan tidak mungkin. Jadilah, berdiri dengan manis, berpura-pura baik-baik saja, padahal sudah dag dig dug karena bakalan telat sampai di kantor.

“Kesiangan, Neng?” suara Pak Ogah tiba-tiba terdengar dari belakang.

“Ya, Pak, masa kepagian,” jawabku asal.

“Hari Putra, udah lewat,” lanjut Pak Ogah kembali.

“Ya, Pak. Kalau saya kesiangan pasti Hari Putra sudah lewat,” jawabku tetap asal.

Kulihat Pak Ogah tersenyum senang mendengar semua jawaban asal-asalan itu. Kadang tuh, Pak Ogah suka aneh. Orang jawab ngasal malah senang, kalau jawab serius malah tidak ngerti.

Pak Ogah ... Oh  Pak Ogah. Baru kutemukan orang seunikmu.

***

Iiik …!

Suara rem sebuah mobil elf membuat daun telingaku bergerak-gerak. Tanpa pikir panjang, kunaikkan kaki ke angkot tersebut.

Bismillah …

Aku duduk di sebelah kiri bagian belakang. Kursi yang kududuki empuknya tidak ketulungan. Rezeki anak sholeh nih, dapat hadiah kursi empuk.

Saat aku naik, di dalam elf sudah duduk seorang laki-laki berbaju merah, berperawakan tambun, dengan raut wajah khas dari wilayah barat pulau Jawa. Ia duduk di kursi bagian tengah elf.

Pada bagian depan elf, duduk dua orang wanita separuh baya. Wanita pertama menggunakan baju berwarna hitam dan kedua berwarna kuning. Poster tubuh mereka ramping, miriplah sepertiku.  Mereka membawa tas mungil slingbag, masing-masing berwarna putih.

Kuarahkan pandanganku pada Pak Sopir. Ia nampak kesepian, single fighter. Tak ada satupun penumpang yang duduk di sampingnya. Pandangannya terlihat kosong, ia seperti membutuhkan lawan bicara. Semoga si Bapak baik-baik saja.

Kami yang berada di dalam elf tersebut saling diam, tak bertegur sapa, karena memang tak kenal. Malas ah, kalau nanti ada yang bilang, aku orangnya tuh SKSD (Sok Kenal Sok Dekat).

Walau tak saling kenal, harapan kami semua pasti sama, yaitu segera sampai di tempat tujuan masing-masing.

Saat di perempatan lampu merah terminal Bekasi. Angkot tersebut mengerem mendadak.

Iiiik …!

Seorang penumpang laki-laki membawa tas berbahan kulit bambu, naik dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya memperlihatkan jika ia sedang frustrasi.

Ia mengambil posisi duduk di bagian depan elf, tepat di depan dua orang wanita separuh baya. Aku tak memperhatikan dengan jelas isi di dalam tas tersebut. Hanya saja sepertinya terdengar nyaring suara burung, yang sedang kelaparan atau mencari induknya. Kasihan.

Iiip …iip ..iip ...

Mobil elf melaju dengan kencangnya. Kali ini tak ada lagi lampu merah yang menghadang. Sampai akhirnya, mengerem kembali tepat di depan Stasiun Bulak Kapal.

Iiik …!

Seorang laki-laki berbaju kemeja naik dengan gagahnya. Raut wajahnya memperlihatkan kalau ia adalah seorang pekerja di sebuah perusahaan swasta. Mataku sempat silau dengan kilauan sepatu hitamnya. Silau Man!

Penumpang bersepatu hitam tersebut, duduk tepat di depanku. Ia menebarkan senyum manisnya ketika melihatku. Kepalanya sedikit mengangguk dan menyapa ala customer service.

“Pagi, Mbak.”

“Pagi, Pak.”

“Mau berangkat kerja, Mbak?”

“Iya, Pak.”

Basa basi sebagai penumpang baru itu perlu, agar suasana tidak kaku seperti bangku.

Merasa posisiku sudah berada di zona nyaman. Akhirnya, kukeluarkan gawaiku dari dalam tas. Satu per satu pesan masuk kubaca dengan seksama, walau tak ada pesan istimewa, tapi cukup membuatku lupa kalau sebenarnya aku sudah kesiangan, bentar lagi gerbang kantor kayaknya tutup.

***

Suara burung yang dibawa laki-laki beraut wajah frustasi, kini semakin kencang terdengar.

Iiip …iip ..iip .. iip …iip …iip …iip …

Suaranya tak henti-henti berkicau, walau kicauannya sama sekali tidak merdu, tapi berhasil membuat buyar konsentrasiku. Seorang laki-laki berbaju kemeja yang duduk tepat di depanku kini angkat bicara.

“Burung, ya, Pak,” tanyanya pada laki-laki beraut wajah frustrasi.

“Ya, Pak. Burung bagus ini, dari Sumatera. Burung langka, saya mau jual di Pasar Cibitung,” jawabnya  menyakinkan.

“Burung apa sih, Pak?” tiba-tiba laki-laki berperawakan tambun berbaju merah yang duduk di bagian tengah elf bertanya.

“Burung dari Sumatera. Saya lupa namanya, pokoknya dari Sumatera, burung langka. Biasanya yang punya burung ini para pejabat. Suaranya merdu dan bulunya bersih. Hampir semua orang kaya melihara burung ini,” balasnya sambil promosi.

“Harganya berapa Pak?” laki-laki berkemeja nampaknya tertarik.

“Saya enggak jual Pak,” jawab  laki-laki beraut wajah frustrasi sambil menunjukkan kefrustasiaanya.

“Kok, enggak dijual, Pak? Saya kayaknya tertarik nih!” Bapak berperawakan tambun menyela.

“Burung bagus sih, Pak. Biasanya saya jual sama pejabat. Kalau jual sama rakyat jelata nanti harganya jatoh,” balas laki-laki beraut wajah frustrasi.

“Wah, saya tertarik nih. Harganya berapa sih Pak?” Bapak berperawakan tambun sedikit memaksa.

“Ya udah dah, kalau emang pada tertarik, saya  lepas dah. Harganya 5 juta. Itu juga kalau mau, kalau enggak mau, saya mah santai aja, nanti juga pasti ada pejabat yang beli,” jawab laki-laki beraut
wajah frustrasi yang kini terlihat tidak frustrasi karena senyumannya mengembang.

“Mahal amat, Pak. Bisa turun harganya?” Laki-laki berbaju kemeja menawar.

"Turun dikitlah," pinta laki-laki berbadan tambun.

“Enggak bisa, Pak. Kalau mau harga segitu, saya lepas, kalau enggak ya sudah,” jawab laki-laki berwajah frustrasi, yang mulai angkuh.

“Yah, saya enggak bawa uang tunai sebanyak itu, Pak. Padahal saya tertarik banget,” balas laki-laki berbaju kemeja.

Tiba-tiba laki-laki berkemeja yang duduk tepat di depanku, menoleh ke arahku dan langsung memulai percakapan.

“Bagus, ya Mbak burungnya? Dari suaranya saja sudah kelihatan merdu. Duh, sayang banget ya Mbak. Padahal burungnya bagus, saya sangat tertarik, saya mau beli tapi enggak bawa uang tunai. Bagaimana nih caranya biar bisa beli burung itu sekarang, nanti ada orang lain yang beli lagi, kecewa banget nih.”

“Maaf Pak, saya enggak tahu mana burung yang bagus dan jelek, saya bukan pecinta burung, sehingga saya enggak tertarik."

“Kalau saya mah tertarik banget. Jarang loh burung sebagus ini dijual dengan harga murah, Cuma lima juta.”

“Ya, Pak, tapi saya enggak tertarik.”

“Burungnya bagus, lho, Mbak. Saya suka banget. Ya udah gini aja deh. Saya kan mau beli itu burung, tapi uangnya enggak cukup. Kartu ATM saya ketinggalan di rumah. Mbak bawa uang tunai lima juta enggak? Saya pinjam dulu, rumah saya sebentar lagi nyampe kok, nanti langsung saya ganti.”

“Maaf, Pak, saya enggak bawa uang tunai sebanyak itu."

“Ya udah, emang Mbak punya uang berapa? Saya pinjam dulu deh.”

“Maaf, Pak, saya hanya bawa uang pas untuk bayar ongkos.”

“Masa sih, orang kayak Mbak, hanya bawa uang untuk ongkos?”

“Maaf, Pak. Saya bilang enggak bawa uang sebanyak itu. Bapak bisa paham enggak sih omongan saya tadi!”

Brak!

Brak!

Brak!

Brak!

Brak!

Kupukul kursi empuk elf. Mataku melotot. Laki-laki berbaju kemeja, beraut wajah frustrasi, dan berbadan tambun melihat ke arahku, mereka kaget. Begitu pula dengan dua wanita bertas slingbag. Wanita-wanita tersebut, memalingkan wajahnya dari pandanganku.

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Senyap tanpa suara.

Tepat di depan rumah sakit Karya Medika II Tambun. Turunlah, laki-laki berkemeja, berbadan tambun, dan beraut wajah frustrasi. Mereka terlihat sedih, langkahnya gontai dan pasrah.

Tuh, kan mereka turun bertiga. Sudah kuduga. Mereka satu gank, tukang tipu.

Sejak awal, aku sudah merasa curiga. Kecurigaanku makin kuat saat mereka bertiga bercakap seperti layaknya orang yang sudah kenal, padahalkan baru ketemu di elf. Kok kayak sudah akrab banget.

Sepanjang percakapan mereka, aku juga mulai menganalisis. Seperti ada yang janggal.  Masa sih, mau jual burung di Pasar Cibitung? itu kan pasar sayuran bukan pasar burung. Masa sih, ditanya nama burungnya saja tidak tahu? Hanya bilang dari Sumatera, harusnya penjual burung itu tahu nama-nama burung. Masa sih, suaranya merdu? Padahal sejak awal, aku mendengar suaranya cempreng, sama sekali tidak enak didengar, seperti suara ayam kejepit pintu. Masa sih, bulunya bersih? laki-laki berwajah frustrasi tersebut belum pernah memperlihatkan burung tersebut kepada kami sebelumnya.

Selanjutnya, malah mau pinjam uang lagi. Baru kenal sudah berani pinjam uang? Gimana aku tidak kesal!

Tidak tahu apa kalau di dompetku hanya berisi uang recehan, hanya pas buat bayar ongkos. Tak mungkinlah, aku bawa uang lima juta di dompet, gajiku sebulan pun tak sampai segitu.

Nah, dari analisis itulah, akhirnya aku menyimpulkan bahwa mereka adalah tukang tipu, menjual burung jadi-jadian. Berharap ada korbannya yang tertipu. Tapi sayang, Bapak semua, salah memilih korban. Sehingga, Bapak semua lah yang jadi korban kemarahanku.

Aku menghela nafas. Tidak enak, ya, masih pagi tensi darah sudah naik.

Maaf, ya, Bapak-bapak, akhirnya kena damprat di pagi hari.

Iiik …!

Rem pakem elf berhenti tepat di Kampung Utan.

"Duluan, Bu," kuucapkan salam perpisahan pada dua wanita bertas slingbag.

Semoga kedua wanita tersebut tidak trauma dengan tingkahku tadi.

Aku turun membayar ongkos sambil tersenyum pada Pak Sopir. Terimakasih Pak.

Photo by Paras Katwal from Pexels







Comments

  1. modus kayak gini udah ada sejak lama. dulu pas jaman aku sma malah penipunya bisa niruin suara burung. jadi seolah itu kayak burung beo yang pinter ngomong.

    ReplyDelete
  2. Haha, ada-ada aja ceritanya. Paling males deh kalau orang gak berapa kenal udah minjem duit. Apalagi baru kenal

    ReplyDelete
  3. Pagi2 kena semprot. Baru tahu rasa ya bapak2. wkwk
    Lah lagian bapak2 itu niat bgt ya, mbok ya kl mau nipu pke cara yg lebih elegan kek. Bukannya pke burung2. Lah kok malah ngajarin. Wkwk

    ReplyDelete
  4. Ternyata masih sama y, Mbak
    Dulu zamanku sekolah naik angkot ya ada tukang tipu model gini, jualan burung
    Hadeuh...
    BTW, setting tempatny mengingatkanku zaman di Bekasi dulu juga sering naik ELF, seru mengamati para penumpang yg naik, tapi moga-moga enggak sering-sering y Mb ketemu sama yang model gini

    ReplyDelete
  5. aku pernah juga mba ngalamin kayak gini waktu pulau dari lemah abang, saya jarang naik angkutan umum, suka waswas aja bawaannya, curiga aja sama orang-orang aneh gitu, nah sama persis ada orang yang masuk barengan bawa burung kayak ngobrol pura2 ga kenal gitu, untungnya saya duduk di barisan belakang supir itu, feeling udah ga enak gitu, analisis otaku juga cukup kuat ahhahah, jadi udah curiga gitu aja, eh pas cerita ke temen ternyata memang itu rombongan tukang tipu, alhamdulillah saya memilih turun lebih awal waktu itu karena seram

    ReplyDelete
  6. Saya tertarik dengan gaya bercerita Mbak Salbiah hehehee..
    Ngalirrr aja dan gak bosenin. Ada lucunya juga. Kece ih dirimu :)

    ReplyDelete
  7. Mbak...lucu banget ceritanya...tapi dapet lho ekspresi marahnya dengan tehnik showing. Trus, kejadian begini banyak banget ya di sekitar kita. Jadi inget pas naik angkot, he..he...daku super hati2.

    ReplyDelete
  8. ada aja ya mbak ide orang untuk nyuri keuntungan dari orang lain dengan seenaknya. Seneng pas bacanya apalagi ada dramatisirnya...ngerem "iiiiiikkkkk" ama suara burungnya...'''ip..iipp..iip". keren mbak

    ReplyDelete
  9. Hmm.. Ak sampe kaget tadi knapa brak brak brak haaa.. Dasar tukang tepuu

    ReplyDelete
  10. duh deg-degan andai saya di posisi itu :(
    BTW, mbak bagus banget ceritanya. Seperti kata mba Hastin, ngalir banget, lho. Saya suka, ikut tegang juga

    ReplyDelete
  11. Itu bukan cerita asli ya kak. Hehhehe. Itu hanya cerita fiktif kan? Soalnya ketika baca jadi seperti nyata. Hehehe.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah gak jadi korban geng penipu koplak ya Mba Salbiah... sy ngikutin cerita di elf nih sejak tgl 1 kemarin. Semoga jd buku yaa Mbak.. aamiin

    ReplyDelete
  13. ahahha keren deh, mbaknya cerdas kalau aku sih langsung teriak keluar jendela kalau mereka mau nyopet hehehe

    ReplyDelete
  14. Tapi aku juga kesel sih sama bapaknya. Baru juga kenal udah pinjem duit 5 juta. Yang bener aja. Ish. Kesel sendiri jadinya.

    ReplyDelete
  15. Cerita yang lucu dan ngalir mbak. Banyak trik penipu zaman sekarang, jadi harus hati-hati ya.

    ReplyDelete
  16. Jadi.... Iiiik itu adalah bunyi mobil ngerem, dan Iip iiipp iip itu adalah suara burung? Bisa saja mbak Salbiah ini. Semoga selalu terlindungi...

    ReplyDelete
  17. Cerita fiksi yang dikemas cukup baik. Kayanya ada true story juga,ya? Hehe ... Emang suka ketemu banyak orang sih kalau naik kendaraan umum, macem-macem juga perilakunya.

    ReplyDelete
  18. Modus banget. Untung gak kenapa-kenapa. Kalau udah bertiga gitu, takut nekat berbuat kejahatan lebih serius. Apa lagi sasarannya perempuan. Kalau sore menjelang malam, apa lagi malam, bahaya banget.

    ReplyDelete
  19. Mengingatkanku waktu masih kuliah di Jambi, sengaja turun dari angkot belum nyampai lokasi. Kayaknya modusnya kebaca deh. Merinding kalau tu orang ikut turun. Alhamdulillah gak.

    ReplyDelete
  20. Padahal penggemar angkot juga sumpah baru tahu jenis penipuan model begini

    ReplyDelete
  21. Padahal penggemar angkot juga sumpah baru tahu jenis penipuan model begini

    ReplyDelete

Post a Comment