Tragedi Gorengan

Sreng … sreng … sreng!

Bunyi kuali dan sodet sudah bergema di dapur. Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari, di sepertiga malam terakhir, aku menghangatkan gorengan yang dibeli tadi malam. Makanan tersebut akan kusajikan sebagai menu pelengkap sahur. Jadilah, jam segini aku sudah berantam dengan kuali dan sodet.

Allahu akbar … 
Allahu Akbar …

Suara adzan subuh terdengar dari masjid, pertanda puasa Senin dimulai.

***

Uwaaaa …!

Mulutku tak hentinya menguap saat di angkot berwarna merah.  Saat turun darinya, kepalaku terpentok bagian atas pintu, rasa kantuk ini begitu menguasai mata dan kaki.

Jetook!

Aw!

“Hati-hati, Mbak. Turunnya kaki duluan, ya.” Pak Sopir tertawa sambil menutup mulutnya.

Kurang asam! Orang lagi kena musibah malah diketawain. Sabar ...  

Seperti biasanya. Aku menunggu elf di trotoar. Antara sadar dan tidak, aku mencari-cari kursi.

Duh, aku lupa. Mana ada kursi di trotoar ini. Trotoar yang berkursi hanya ada dekat Mal Metropolitan Bekasi, kalau di sini, tidak akan mungkin menemukannya. Boleh tidak sih, besok-besok aku bawa kursi lipat. Nyaman banget kalau nunggu elf sambil duduk, tidak berdiri begini.

Kuarahkan mata ke segala penjuru. Para penumpang sudah mulai berdatangan. Salah seorang wanita berpakain seperti pahlawan tanpa tanda jasa, menghampiriku dengan santainya.

“Hari Putra, belum datang, Mbak?”

“Belum, Bu. Mungkin lima menit lagi.”

“Oh, gitu. Mbak, mau? Mau nyoba cicipin? Saya buat sendiri, loh. tadi pagi. Ini ada bakwan, tempe, tahu, dan risol. Gorengan ini, kata anak-anak saya enak banget, mereka suka pada bawa buat cemilan di sekolah.”

“Makasih, Bu. Saya sedang puasa Senin.”

“Oh, maaf, sedang puasa toh. Oh, ya, ini hari Senin. Lali saya, puasa Senin Kamis.”

“Enggak apa-apa, Bu. Saya mah orangnya tahan godaan.”

"Haha, keren tuh!"

Setelah mengetahui jika aku sedang berpuasa Senin. Ibu tersebut segera menyudahi makan gorengannya dan segera memasukkannya ke dalam tas.

Alhamdulillah. Pagi-pagi sudah ditawari gorengan, padahal sewaktu sahur, aku juga makan gorengan. Jadilah, rezekiku hari ini adalah gorengan.

***

Iiik …!

Pakemnya rem Hari Putra, membubarkan kerumunan penumpang yang sedang asyik mengobrol di trotoar. Satu per satu mereka antri masuk ke dalam elf. Seperti mengambil jatah sembako, rapinya tidak ketulungan.

“Pagi, Pak.”

“Pagi, Pak Hari.”

“Pagi, Bos! Sehat?”

"Pagi, Pak Bos."

“Pagi semua, alhamdulillah masih dikasih nikmat sehat dan rezeki. Semoga hari ini perjalanan kita untuk mencari rezekinya di bumi akan lancar dan barokah. Maka Nikmat TuhanMu manakah yang kau dustakan? Betul enggak?”

Wuih, mendengar perkataan dari Pak Sopir, aku kok seperti dengar kultum kayak di televisi. Tapi kultumnya bukan menjelang buka puasa, tapi menjelang naik ke elf. Keren juga, nih, Pak Hari, bak ustaz profesional saja. Bisa-bisa, ceramah berlanjut sampai Kampung Utan.

Suasana dalam elf tak seperti biasanya. Beberapa posisi duduk berubah, tapi sebagian besar masih tetap sama, karena ada labelnya.

Penumpang yang duduk disebelah kiriku, seorang wanita berambut keriting dan menggunakan celana jeans biru dengan robekan di bagian lututnya. Tak kupedulikan kehadirannya, karena ia anak baru.

Kalau di kampus, biasanya kan anak baru di ospek. Apakah perlu dia diospek? Ngawur!

Tut …tut … tuut!

Getar gawai terasa di bahu. Getaran itu seperti tak mau berhenti, sampai tanganku mengangkatnya.

“Sal, tolong kirimkan data … sekarang, ya, ditunggu.”

“Ya.”

Tuhan … apakah ia tak tahu, kalau jam segini posisiku masih di angkot. Data tersebut ada di laptop. Jika aku mengeluarkan laptop di angkot. Duh, kesannya kayak jadi pegawai yang paling rajin sedunia.

Masya Allah ...

Benar saja. Saat aku mengeluarkan laptop dan meletakkannya di atas paha. Sontak para penumpang terkaget. Entah apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka kagum dengan kerajinanku atau malah muak dengan gaya yang sok rajin. Terserahlah.

Sepuluh menit sudah laptop kunyalakan di dalam elf. Saat menit yang keenam belas, wanita yang berambut keriting tersebut mencolek pundakku. Tangannya menyodorkan sebungkus gorengan yang masih panas.

“Maaf, Mbak. Mau? Silakan.”

“Makasih, saya sedang puasa.”

“Oh, maaf Mbak, ternyata sedang puasa, ya.”

“Iya.”

Aku sengaja, segera menyudahi percakapan. Karena tugas kantor dadakan, harus diselesaikan saat itu juga. Kuterdiam fokus, tak menghiraukan apapun di sekelilingku. Sampai akhirnya, fokusku buyar akibat rem mendadak Hari Putra.

Iiik …!

Brak!

Laptop yang berada di pangkuan, jatuh ke lantai angkot, tepat di depan sepatu wanita ber-jeans robek. Mataku terbelalak. Kaget dan tak percaya hal ini akan terjadi. Tambah tak percaya lagi, saat melihat keyboard dan monitornya penuh dengan gorengan.

Astaqfirullah ...

Ya Gusti, laptop sudah jatuh terus tertimpa gorengan lagi.

Pak Hari yang kaget mendengar sesuatu yang jatuh. Ikut angkat bicara.

“Kenapa, Mbak? Kayak ada yang jatuh?”

“Laptop saya jatuh Pak.”

“Ya Allah, rusak enggak Mbak?”

“Belum tahu, Pak.”

“Maaf, ya, Mbak, gara-gara ngerem tadi?”

“Ya, Pak.”

“Maaf, ya, Mbak. Tadi ada Bapak-bapak bawa motor nyalib. Kalau enggak saya rem, ini mobil bisa nyium motor Bapak itu.”

“Ya, Pak. Sudahlah.”

Sambil menghela nafas, kuambil laptop tersebut perlahan. Kubuang semua gorengan yang berserakan. Apesnya, aku tak membawa tisu untuk membersihkan minyak yang menjalar cepat ke semua bagian keyboard dan monitor. Wanita ber-jeans robek pun terlihat seperti menyesal atas kejadian itu.

“Ya Allah, maaf, ya, Mbak. Saya enggak sengaja. Saya juga kaget waktu mobilnya ngerem mendadak.”

“Ya, sudah, Bu, enggak apa-apa. Saya juga kaget dengan rem tersebut. Mau bagaimana lagi, sudah jatuh.”

“Duh, saya enggak bawa tisu lagi. Itu laptop Mbaknya, penuh dengan minyak gorengan. Sini, Mbak saya bantu, gorengannya dibuang saja.”

“Ya sudah, Bu, enggak apa-apa, nanti saya bersihkan setelah sampai di kantor. Saya pun lupa membawa tisu.”

Sudah jatuh tertimpa tangga lagi.

Semua mata yang berada di sekitarnya terlihat berkaca-kaca. Mungkin mereka kasihan dengan nasib laptop. Tak ada satupun kata yang terucap dari mulut. Hanya memandangku dengan penuh kasihan.

Kututup laptop dengan perasaan kecewa. Semua rencana yang telah disusun, akhirnya ambyar.

Laptop rusak pada bagian penutup plastiknya, sisi kiri monitornya pecah, karena posisi terjatuhnya tadi miring. Beruntung layar monitornya masih baik-baik saja, walau tak dapat kuhidupkan seperti semula.

Sekali lagi kuperiksa dengan seksama. Mungkin ada bagian lain yang retak atau pecah. Alhamdulillah, hanya satu bagian saja yang pecah.

Ya sudahlah, pasrah. Nanti sesampainya di kantor, akan kukonsultasikan kepada ahli komputer. Siapa tahu masih rezeki, bisa diperbaiki.

Kepalaku merunduk. Tak ada yang kusalahkan atas apa yang telah terjadi. Tidak adil rasanya menyalahkan Pak Sopir yang mengerem mendadak atau menyalahkan gorengan bermandikan minyak yang ikut menimpa laptop.

Lemas rasanya. Kalau dipikir-pikir, hari ini adalah harinya gorengan. Saat sahur, menu sahurku ditemani gorengan. Saat berdiri di trotoar, seorang teman menawarkan gorengannya. Saat di dalam elf, seorang wanita bercelana jeans juga menawarkan gorengannya. Pas banget, laptopku yang jatuh tertimpa gorengan pula.

Qadarullah. Semua sudah ditakdirkan. Mengambil hikmah dari kejadian yang terjadi, apalagi sedang berpuasa, mungkin sedang diuji sejauh mana kesabarannku.

Photo by Tribun Cirebon.com


Comments

  1. Ya ampun mbaak, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tapi aku slalu suka gaya ceritanya Mbak. Seru

    ReplyDelete
  2. Ya begitulah Mbak, nasib-nasib. Makasih Mbak, tunggu cerita selanjutnya.

    ReplyDelete
  3. Ya ampuuun gorengan oh gorengan... Terus gimana mba nasib laptopnya?

    ReplyDelete

Post a Comment