Rahmawati Mozza

“Bunda berangkat dulu, ya, Biy, Assalamualaikum,” pamitku kepada pria berjenggot yang sedang menyeruput kopi.

“Ya, hati-hati Bun. Nanti kalau sudah sampai, kasih tahu, ya,” pintanya singkat.

Pagi ini cukup cerah. Jam di lengan kanan masih menunjukkan pukul 05.15 WIB. Kaki melangkah dengan penuh semangat. Satu per satu rumah tetangga, kulalui dengan sukses. Tak ada satupun orang yang sudah keluar rumah sepagi ini.

Memang dasar, rajinnya kebangetan. Orang lain masih berselimut, aku sudah berseragam. Tapi, sepertinya matahari tidak mau kalah rajinnya denganku. Ia juga sudah mulai menyorotkan energinya. Mulai terasa sengatan sinarnya. Matahari rupanya tak mau tersaingi nih.

Masih pukul lima, tapi rasanya sudah pukul enam. Apa jam di tanganku rusak?

Penasaran masih melanda batin. Akhirnya kuputuskan untuk melihat gawai, dan memang benar, terlihat dengan jelas, angka lima bertengger dengan jelas. Alhamdulillah, berarti jam tangan ini tidak sakit. Masih sehat.

***
Stasiun Bekasi sudah di depan mata. Sedikit lagi sampai ke tujuan. Setelah melewati rel kereta api. Aku akan berhenti tepat di depan pos polisi. Aku memang selalu setia turun di sana.

Walau jarang bertemu dengan polisi yang sedang berjaga, tapi aku merasakan, kalau mereka itu ada. Pernah sekali aku bertemu dengan penjaga ketertiban dan keamanan ini. Pertemuanku dengannya sangat menyenangkan. Kami berpandangan hanya sekilas saja. Aku tak berani menatap polisi lama-lama, nanti kalau aku dipelototinya, bisa-bisa kocar-kacir tersandung trotoar.

“Ninung … ninung … ninung.” Sirene dari pos jaga kereta api terdengar, dan seketika palang perlintasan menutup dengan rapat.

Duh, ada kereta api! Semoga elf enggak ninggalin aku lagi, hix.

Terkadang, aku tuh suka bingung. Kenapa sih jadwal kereta api selalu padat di jam kerja begini, pagi-pagi pula. Aku pernah duduk manis di dalam angkot hampir lima belas menit, karena menunggu kereta-kereta tersebut lewat. Lajunya seperti kura-kura lagi.

Apakah aku perlu lapor kepada PT. Kereta Api Indonesia. Agar jadwal keberangkatan kereta, jangan dipadatkan di jam kerja, pagi hari pula. Bagaimanalah nasib rakyat kecil kayak aku. Meski mengejar-ngejar angkot gara-gara nungguin kereta lewat. Nasib oh nasib.

Setelah wangi parfumku mulai pudar dan keringat mulai bercucuran, karena menunggu kereta lewat. Akhirnya, angkot yang aku naiki berhenti tepat di depan pos polisi.

Hari ini aku punya misi besar. Mau mencoba ikut naik mobil elf yang bertuliskan “Rahmawati Mozza”. Sudah lama penasaran dengan angkutan tersebut. Selalu ramai dengan penumpang yang sebagian besarnya adalah para pekerja kantoran.

Kulangkahkan kaki mendekat trotoar. Seperti biasa, berdiri mematung sambil mendekap erat tas ransel berwarna coklat. Kayaknya dari sekian banyak penumpang yang berdiri di sana. Hanya aku yang selalu terlihat siap siaga.

Tas ransel yang seharusnya ada di punggung, kubalikkan ke depan dada. Penumpang lainnya terlihat santai memainkan gawainya. Hari itu, entah mengapa jadi parno. Aku tidak berani memainkan gawai.

"Baru yampe, Neng," sapa pagi Pak Ogah sambil tersenyum.

"Iya, Bang," jawabku dengan senyum pula.

Pak Ogah di pos polisi ini memang terbilang ramah. Walau sejak dulu aku tak pernah kenal namanya, tapi ia sering menyapa para calon penumpang, termasuk aku.

***

Iiik …!

Rahmawati Mozza sudah tepat berada di depanku. Kulirik sedikit wajah sopirnya. Keren juga! Walau kulitnya hitam legam bagaikan arang, tapi dari senyumannya menunjukkan keramahan dan kegigihan dalam mencari rezeki.

Tap … tap … tap!

Kakiku langsung melangkah dengan cepatnya. Berlari kecil seperti yang lain. Agak saling sikut tak apalah, yang penting bisa naik angkutan ini untuk yang pertama kalinya. Mohon maaf untuk Bapak yang menggunakan seragam berwarna biru muda. Beliau sempat aku sikut. Entahlah dia kesakitan atau tidak. Ini semua akibat ukuran badannya yang melebihi ukuran pintu Rahmawati Mozza, sehingga perlu sedikit sikutan, agar aku bisa masuk duluan dengan selamat.

Akhirnya, aku mendapatkan kursi tepat di belakang sopir. Nyaman juga, ya, berada di mobil “Rahmawati Mozza”. Kondisinya masih dibilang layak sebagai angkutan kota (angkot).

Kursinya masih terlihat glowing. Lantainya bersih, tak satupun kutemukan sampah. Besi-besi di pintu, kursi, serta jendelanya pun belum teroksidasi, tidak karatan. Saat aku menggeser kaca jendelanya pun dengan mudah tergeser. Biasanya kan, perlu tenaga super hero untuk menggeser kaca jendela angkot. Nah, mungkin ini salah satu keistimewaan Rahmawati Mozza, sehingga ia sering jadi rebutan para penumpang.

Kuamati sekelilingku. Tepat di depanku, terdapat kursi kecil yang hanya muat diduduki oleh dua orang penumpang berpakaian necis. Penumpang pertama memiliki ukuran badan yang cukup besar, sedangkan penumpang kedua berukuran ramping, sama sepertiku.

Kulihat bokong penumpang kedua, bergoyang-goyang kecil. Tampaknya ia kesempitan. Jatah kursinya diambil oleh penumpang pertama. Kasihan juga sih lihatnya, tapi tidak mungkin aku menegur penumpang pertama. Apalagi kalau memohon agar penumpang pertama mengecilkan sementara ukuran badannya. Bisa-bisa aku dilemparnya keluar jendela. Ampun deh, apalah aku, masih anak baru pula.

Melihat kejadian itu, aku hanya bisa tersenyum, dan mendoakan penumpang kedua, semoga ia tidak semakin ramping akibat kelamaan duduk di situ. Sabar, ya, Pak!

Kumenoleh ke arah samping kiri. Terlihat dua orang ibu-ibu berseragam biru berpangkat balok-balok sedang mengobrol dengan asyiknya. Seragamnya menunjukkan bahwa mereka bekerja di sebuah instansi pemerintah. Sama lah sepertiku.

Kutengok ke arah belakang. Tampak sekilas wanita dan laki-laki yang menggunakan baju bebas rapi sopan, sedang sibuk memainkan gawainya. Sepertinya aku kenal dengan tipe baju seperti itu. Kalau bajunya seperti itu, kayaknya mereka bekerja di perkantoran Kawasan Industri Cikarang.

Selesai mengamati para penumpang. Mataku langsung tertuju pada sang sopir. Penampilannya menunjukkan bahwa ia seorang sopir yang handal. Ya, iyalah, orang dia setiap hari bawa mobil kok. Mobil angkot.

Tinggi badannya pas banget dengan jarak antara setir dan kursi. Tubuhnya cukup berisi, gempal tanpa lemak. Cocoklah, kalau ia menjadi pembalap mobil elf. Tak bisa dipungkiri lagi. Sang calon juara di depan mataku.

Kulihat cara ia memegang setir, mantap dan kokoh cengkeramannya. Banting setirnya pakai perhitungan. Kayaknya tuh setir lengket banget sama tangannya. Saat kami melaju di jalan yang lurus dan mulus.

Busss … buss … buss!

Rasanya jantungku hampir copot. Pak sopir begitu gesit membawa mobilnya. Begitu pula saat mengerem untuk menurunkan atau menaikkan penumpang. Pakem banget rem kakinya.

Iiiik ….!

Tubuhnku yang ramping hampir terpelanting keluar. Untunglah aku memegang erat besi yang ada di atas kepalaku.

“Hati-hati, Mbak,” ucap salah seorang ibu yang duduk di samping kiriku.

“Ya, Bu,” jawabku dengan bibir gemetaran.

Kali pertama aku naik mobil angkot dengan perasaan was-was. Jantungku berdetak kencang, kakiku gemetaran. Beruntung, aku tak pipis di celana.

Pengalaman yang luar biasa, Tuhan.

Tapi, tak kulihat satu pun penumpang lainnya yang memiliki ekspresi sama seperti diriku. Semuanya terlihat santai, kecuali aku. Mereka mungkin sudah terbiasa dengan gaya “mengebut dan mengerem” si Bapak sopir ini. Jadi happy saja, tak sepertiku, yang terlihat pucat pasi.

Alhamdulillah. Tak lama kemudian, akhirnya aku sampai di tujuan.

“Kampung Utan abis … Kampung Utan,” teriak Bapak Sopir dengan lantangnya.

Aku turun perlahan. Kuserahkan uang satu lembar berwarna merah padanya.

"Mbak, uangnya gede banget. Ada uang receh enggak?"

Hah!

Mulutku menganga. Beruntung tak ada lalat berkeliaran di sekitar elf.

"Emang uang yang saya kasih berapa Pak?" tanyaku masih dalam kondisi menganga.

"Ini." Pak Sopir menunjukkan selembar uang seratus ribu rupiah.

"Masya Allah. Maaf, Pak, saya sedikit error pagi ini."

Kukeluarkan uang bergambar Tuanku Imam Bondjol, dan mengambil kembali uang berwarna merah tersebut.

Rekor. Kali pertama bagiku sampai di Kampung Utan, sebelum jam enam pagi. Kepagian euy. Terimakasih Pak Sopir Rahmawati Mozza. Sumpah keren banget cara bawa mobilnya, Bapak cocok lah jadi pembalap.

Hari ini aku mendapatkan pelajaran yang berharga. Lakukan yang terbaik, do the best, di setiap aktivitas yang kamu kerjakan. Jika pekerjaanmu baik, orang akan berduyun-duyung menghampiri, tentunya membawa rezeki.

Baca Juga : Gawaiku Raib

Photo By Pexel.com

Comments

  1. Setuju banget mba. Apapun perbuatan kita pasti akan kembali lagi ke kita. Entah itu baik atau buruk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sehingga, lakukan hal-hal yang baik-baik saja, ya. Setuju...

      Delete
  2. Masya Allah... Ini salah satu bentuk reframing juga. Tak ada balasan kebaikan selain kebaikan pula...

    ReplyDelete
  3. Betul Mbak, Mari kita berbuat kebaikan.

    ReplyDelete
  4. Bagus Mbak gaya berceritanya. Saya nggak bosen baca sampai akhir

    ReplyDelete
  5. Sama-sama. Tunggu kelanjutan cerita lainnya, ya, tentunya dengan judul yang berbeda.

    ReplyDelete

Post a Comment