Gawaiku Raib

Pagi itu matahari bersinar dengan cerahnya. Aku yang sedari tadi mematung sendirian di trotoar, akhirnya menemukan teman walau hanya untuk sekedar saling sapa.

“Mozza, belum datang Mbak?” Ibu berseragam coklat datang menyapa dengan senyum yang berkembang dibibir merahnya.

“Belum, Bu.” Aku arahkan pandangan mata kepadanya sambil membalas senyumnya.

Tak selang beberapa menit. Mozza tiba-tiba muncul dari ujung jalan.

Iiiik …!

Rem pakem khasnya, terdengar sampai ke telinga kami.

Tap … tap … tap!

Kami sedikit berlari. Bukan karena berebutan kursi. Toh kursi kami sudah berlabel, sehingga tidak akan salah duduk. Maksud berlari, karena mengejar waktu. Mozza datang kesiangan. Membuat hati was-was, khawatir terlambat sampai ke kantor.

“Pak, kesiangan, ya?” Bapak berseragam abu-abu bersuara dari arah belakang.

“Ya, Pak. Macet banget tadi di Bulak Kapal. Enggak macet hanya dari stasiun Bekasi sampai Superindo. Nah, mulai Bulak Kapal, baru deh macet. Tumben nih, enggak kayak biasanya, hari ini banyak mobil kontainer 40 feet. Jadi macet deh. Mungkin ada pengalihan jalan, dari tol ke arteri,” pungkas Pak Sopir sambil menyeka keringatnya.

Buss …buss … buss!

Mozza melaju dengan gesitnya. Mumpung lancar jaya, gas ditancap bagaikan kilatan petir. Aku yang memang khawatir terlambat ke kantor, menyetujui tindakan si Mozza.

Ayo, Mozza …, terus tancap gas.

***

Lambaian tangan seorang wanita separuh baya menghentikan laju Mozza.

Iiik …!

Percis di depan toko bangunan yang belum buka. Mozza mengerem dengan pakemnya. Tampak seorang wanita berambut panjang, naik ke atas Mozza, dan ia duduk berhadapan denganku.

“Pagi, Mbak.” Ibu tersebut menyapa dan memberikan senyuman indahnya.

“Pagi, Bu.” Akupun membalas dengan senyuman terindah yang pernah kumiliki.

Perjalanan pagi itu cukup tersendat-sendat. Entah mengapa, macet menjalar mulai dari Bulak Kapal seperti yang diceritakan Pak Sopir tadi. Aku yang sedari tadi duduk manis, akhirnya mengeluarkan gawai dari dalam tas.

Nuut … Nuut!

Pesan singkat via whatsapp masuk secara bersamaan. Sepagi ini sudah terdapat 99+ pesan yang belum dibaca. Satu per satu pesan dibuka. Wah, ternyata banyak pesan penting. Untunglah, aku membacanya, kalau telat sedikit bisa digetok oleh seseorang nih pakai centong. Tidak boleh sebut nama, ya, karena bukan iklan.

Saat sedang asyiknya memainkan gawai. Rasanya seperti ada yang memperhatikan gerak gerikku. Wanita berambut panjang tadi, memandang tak jemunya. Aku tak membalas pandangannya sih. Kami tak saling pandang. Kalau saling pandang, nanti ia jatuh cinta lagi.  Aku kan sudah ada yang memiliki.

Tanganku tak hentinya membalas semua pesan masuk. Kesibukan dadakan ini membuat kemacetan tak terasa lagi. Sampai pada pesan terakhir.

Ah, pesan satu ini dibalasnya nanti saja saat di kantor. Semua datanya, kan, ada di kantor. Aku mana hafal satu per satu.

Merasa lelah membalas semua pesan. Antara sadar dan tak sadar, kumasukkan gawaiku ke dalam tas ransel. Agak risih juga sih saat itu, karena saat memasukkan gawai ke dalam tas ransel, mata si wanita berambut panjang itu, selalu menatapku dengan senyumannya.

Ini si Ibu kenapa sih, ngeliatin aku terus, sambil senyam senyum lagi. Apa wajahku mirip artis, sehingga tampaknya ia bahagia bertemu dengan artis idolanya. Jangan bilang, ya, Bu, kalau wajahku mirip Omas!

Kupejamkan mata sebentar. Semoga kemacetan ini segera terurai, dan aku segera sampai di Kampung Utan.

***

“Mbak, sudah sampai Kampung Utan,” suara Pak Sopir seperti tepat di depan daun telingaku.

“Ya, Allah. Maaf, Pak, ketiduran.”

Tanpa aba-aba, aku langsung turun dari mobil. Kulangkahkan kaki dengan santai menuju angkot selanjutnya.

***

“Kiri, Pak, Karantina Pertanian.”

Iiik …!

Angkot mengerem dan berhenti di depan kantorku.

“Pagi, Bu. Tumben siang,” sapa salah satu security di gerbang kantor.

“Bapak ini maksudnya, apa sih? Tadi bilang pagi, terus bilang siang. Macet parah, Pak.” Tawaku lepas karena mencandainya.

Seperti biasa. Aku diantarkan Pak security masuk ke dalam kantor. Memang sih, jarak antara gerbang kantor dengan ruang tempatku bekerja agak jauh, sehingga biasanya aku di antar oleh security sampai tepat di depan ruang kantor.

“Makasih, ya, Pak. Ini untuk Bapak.” Seraya menyerahkan buah apel dan anggur dalam satu kantong plastik kepada Pak Haryadi.

“Wah, jadi enak nih, Bu.” Tangannya menerima kantung plastik tersebut dengan senyum sumringah.

Semua amunisi untuk bekerja kuletakkan di atas meja. Aku ingat! Ada satu pesan yang belum sempat aku balas saat di elf. Dokumen telah berada di mejaku. Bergegas kuambil gawai dari dalam tas.

Kok, enggak ada sih? perasaan sudah dimasukkan ke dalam tas.

Aku sempat bingung. Gawaiku perasaan sudah kusimpan di dalam tas ransel, sewaktu masih di elf, dan saat menaiki angkot selanjutnya. Aku sama sekali tidak mengeluarkan gawai tersebut dari ransel.

Jangan-jangan gawaiku hilang saat di elf? Perasaanku sudah kumasukkan saat di elf. Ah, dasar wanita. Selalu pakai perasaan! Benarkah, perasaanku ini?

Bergegas aku menelepon Pak Suami. Kukabarkan jika telepon genggamku hilang di elf Mozza.

“Kok, bisa Bun?”

“Bunda juga bingung. Perasaan sudah Bunda masukkan ke dalam tas sewaktu di elf. Dan saat naik  angkot selanjutnya, Bunda enggak memakainya.”

“Ya udah Bun, blokir semua mobile banking, biar aman.”

Melihat aku sedang sibuk di meja telepon. Seorang teman berkulit coklat muda menghampiri.

“Ada apa Sal? Kayak orang panik gitu.”

“Bu, gawaiku hilang. Kayaknya hilang di elf, karena aku menggunakannya saat di elf.”

Kulihat wajahnya ikut panik. Ia segera membuka gawainya, dan seperti mencari nomor telepon seseorang.

“Sal, kamu punya mobile banking, kan?”

“Iya.”

“Sekarang, kamu telepon customer service-nya, minta diblokir semua mobile banking, yang kamu punya.”

Tanpa pikir panjang. Aku  mengikuti arahannya. Setelah semua mobile banking telah terblokir.

Temanku tersebut langsung menghubungi salah satu penumpang elf Mozza, dan meminta nomor gawai tersebut. Setelah mendapatkan nomor teleponnya. Aku bergegas menghubunginya.

“Assalamualaikum, Pak. Ini Mbak Salbiah. Pak, saya kehilangan telepon genggam di elf tadi pagi. Bapak bisa tolong cek ke kursi yang saya duduki tadi. Mungkin jatuh di bawah kursi.”

“Walaikumsalam, Mbak. Ya, Allah. Bisa hilang begitu, ya? Saya sekarang lagi di Pom Bensin Terminal. Bentar lagi di Bulak Kapal, saya cek, ya. Ini juga lagi enggak ada penumpang, kosong.”

“Ya, Pak. Makasih, nanti kalau menemukannya, Bapak hubungi nomor ini saja, ya.”

“Ok, Mbak.”

Aku menunggu kabar dari Pak Sopir dengan perasaan cemas. Sepuluh menit serasa sepuluh tahun. Masya Allah. Sepuluh menit berlalu, tiba-tiba temanku yang tadi menghampiri sambil tergopoh-gopoh.

“Sal, ini ada telepon dari Sopir Mozza.”

“Makasih, Bu.”

Kuangkat telepon tersebut sambil komat kamit berdoa. Semoga gawaiku dapat ditemukan di elf tersebut.

“Assalamualaikum. Maaf Mbak, telepon genggamnya enggak ada. Sudah saya cari nih dari depan ke belakang, sampai ke bawah kursinya. Saya enggak nemuin Mbak.”

“Oh, enggak ada, ya, Pak. Ya udah enggak apa-apa. Makasih Pak.”

Kumatikan telepon dengan perasaan kecewa. Mungkin memang sudah waktunya membeli gawai baru. Usianya sudah hampir tujuh tahun.

Photo byAnna Shvets Pexel.com

Comments

  1. Duh, saya punya pengalaman yang sama soal kehilangan gawai dan itu cukup membuat sesak, hilangnya di angkot dan HP yang hilang itu belum lunas cicilan, hiks.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, selamat ya Mbak, sudah jatuh tertimpa tangga. Duh sakit, sy pun pernah merasakannya. Eh.

      Delete
  2. Huaaaa Dewi berharap gawainya ketemu, tapi bagaimana lagi mungkin memng harus ganti baru ya mbak. Dewi kehilangan gawai tiga kali sedih terus tapi saat gawai bukan android, kalau skrg agak rawan ya, krn terhubung dg mobile banking.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya pun berharap ketemu, tapi apalah daya. Takdir berkata lain. Pasrah.

      Delete
  3. Ya ampun Mbak. Saya juga punya pengalaman hp ilang, lebih tepatnya dijambret di depan mata. Jadi rasanya lebih nyesek dari ilang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, bisa trauma itu kalau penjambretan. Ngeri.

      Delete

Post a Comment